SELAMAT DATANG DI SITUS BLOG HADZIHI SABILI - JEHADEMUSA

Jumat, 21 Januari 2011

Maafkan Aku Duhai Saudara-Saudaraku

Bumi Allah, Januari 2011



Sebenarnya sudah sangat lama ingin menuliskan surat ini padamu. Malam ini aku gunakan waktu sempitku sebelum istirahat untuk menyatakan bagaimana kelanjutan cerita hari-hariku, setelah kita lama tak berjumpa, ya, setelah kita lama tak berjumpa.



Dan tentang cerita masa kebersamaan kita yang cukup panjang pada waktu itu, tak pernah membuatku lupa denganmu, duhai saudaraku. Kita sebut saja itu sebagai kenangan masa dahulu. Maafkan aku, duhai saudaraku. Izinkan aku pergi dari hidupmu, meninggalkan satu kisah kepahlawanan kecil ketika kita berjuang dahulu, ketika kita sama berkeringat waktu itu, ketika kita sama menangis dalam balutan malam gelap gulita saat itu, sepertiga malam akhir, jelang shubuh di rumah-Nya, entahlah aku tidak ingat persis kejadian ini.


Namun aku sedikit ingat bahwa bulan-bulan pada tahun itu kita sama duduk sambil berdiskusi tentang masa depan Islam, bagaimana amanah dakwah telah terbebankan di pundak kita. Kita saling menguatkan, kita saling menyemangati, kita saling bahu membahu agar kalimat Islam menjadi yang tertinggi di muka bumi. Akan tetapi itu dulu, dulu, sudah sangat lama seiring waktu berlalu, duhai saudaraku. Hari, bulan, dan tahun telah berubah! Izinkan aku pergi dengan segala kerelaanmu dan ikhtiarmu penuh kesungguhan untuk melupakanku.

Aku mengetahui bahwa cintamu padaku adalah cinta sejati karena Allah (Swt). Waktu-waktumu banyak terluangkan untuk memikirkanku bahkan mungkin sering mendoakan dan menyebut nama lengkapku dalam doa rabithah rutinmu, ataupun mungkin ada namaku dalam doa akhir shalat malammu. Jiwaku sepertinya tak mampu meyakini sepenuhnya bagaimana kau tetap tegar melakukan semua itu untukku, apakah dirimu tidak lelah, tidak bosan? Mengapa begitu bersikukuh? Sudahlah, masih banyak yang mesti kau pikirkan selain diriku. Apalah aku ini, cuma orang biasa, bukan siapa-siapa. Tiada kelebihan, tiada keistimewaan, mengapa pula kau menyibukkan dirimu. Maafkan aku dan izinkanlah aku memilih bahwa aku tidak seperti dahulu lagi.



Aku tahu bahwa dakwah adalah perhatian, dan perhatianmu padaku telah berada pada puncaknya. Menurut anggapanku, seperti ilmu matematika pernah mengajarkan kepada kita bahwa titik puncak itu bukanlah segalanya karena ia adalah awal dari titik untuk menurun, ialah titik balik. Sebagai informasi awal untukmu, kini telah ada semangat lain yang sedang berkobar dalam pikiran dan dalam dadaku kali ini, bergemuruh, dan aku menikmatinya amat sangat. Andai waktu dapat bicara padamu tentang cerianya hari-hariku saat ini, maka kau mungkin tak pernah menyangka seperti apa perasaan dan bagaimana aku berlogika hari ini. Sungguh, kau atau kalian semua tak pernah menyangka bagaimana hidupku berbahagia, tenang, amat tenang. Ya sudah, tak perlu kau pikirkan, duhai saudaraku.



Satu hal yang sangat tidak aku senangi darimu adalah upaya kerasmu agar aku kembali mendatangi forum yang berisi nasihat-nasihat rutin di tiap pekan, seperti dahulu, dulu! Ya, kau mungkin menyadari hal ini , dan memang dahulu itu aku malah lebih bersemangat darimu menghadiri majlis itu, dan kini aku persilahkan dirimu beberapa langkah meninggalkanku dalam semangat keislaman yang pernah kita bangun dahulu dalam diri kita. Silakan, saudaraku.



Ah, ternyata kalau dipikir-pikir, aku saat ini sudah bosan, mungkin sudah kurang ‘berpetunjuk’ tentang ‘jalan’ itu. Buku tebal berjudul “Petunjuk Jalan” dari Dr. Sayyid Quthb yang dahulu kita telah sama-sama membacanya atas suruhan Ustadz, tidaklah membekas kuat di jiwaku. Katakanlah, aku ini sedang futur, dan bila memungkinkan, kefuturan ini akan berlanjut dan biarkanlah, biarkanlah duhai saudaraku. Ini mungkin takdir atas diriku di saat-saat seperti ini. Tak perlu kau risau, lupakanlah.



Yakini sajalah bahwa aku memang tidak berbakat mengikuti kegiatan-kegiatan semacam itu, halaqah, daurah, rihlah, mukhayyam, dan wasilah Tarbiyah lain yang sejenisnya. Hilangkan harapanmu itu bahwa aku adalah salah seorang jundi terbaik dan mampu berprestasi, memiliki andil dalam perjuangan itu. Duhai saudaraku, hapus kuat-kuat sajalah asa dan impianmu bahwa dengan hadirnya diriku di perjalanan itu, turut meringankan beban-beban perjuangan Islam, itu hanya mimpi buruk bagimu, bagi kalian semua wahai saudara-saudaraku. Sebab aku sendiri tak yakin dengan diriku sendiri. Sangat tidak yakin!



Aku tak habis membayangkan, ketika kelak pada masa depan aku tetap membersamai kalian di jalan itu, aku tak kuasa menuruti semua aturan yang berbelit. Tidak boleh ini dan itu. Harus ini dan itu. Begini dan begitu. MasyaAllah! Aku berpikir, itu semua begitu mengikat dan menjerat. Hidup kita ibarat dipenjara tanpa ada penjara. Apalagi kalau aku mengingat kembali tentang materi pengajian kita malam itu bersama sang Ustadz, materi yang ujung-ujunganya adalah penerapan “sami’na wa atha’na” atau sebagai misal lain, materi tentang totalitas dalam dakwah, aduh itu mengerikan duhai saudaraku, sangat mengerikan! Materi terhoror dalam sejarah pertemuan kita. Jika suatu saat nanti dakwah meminta semuanya dariku untk berbuat total, baik itu pengorbanan kecil maupun besar, aku takut entah aku mampu ikhlaskah atau tidakkah? Nah ini yang membuatku ragu. Maka lebih baik aku putuskan, log off saja dari sini, atau shutdown! Maafkan aku saudaraku…



Kau harus tahu, aku tak pandai mengaji tentang ilmu syari’ah, aku tak terlalu paham tentang fiqh, apalagi membahas kaidah ushul fiqh. Juga hadits, tak seberapa yang aku mampu hafalkan dan pahami. Hafalan Al-Qur’an saja banyak terlupa, boro-boro hadits, ditambah lagi dengan suruhan menghafalkan beberpa arkan, muwashshafat, dan macam yang lain. Sirah Nabi dan Shahabat agaknya menjadi beban untuk aku khatamkan, lebih baik berhadapan dengan game atau boleh jadi komik, ini yang kusenangi. Apakah kau masih mengharapkan itu darikudengan kenyataan seperti ini? Ah sudahlah, jangankan aku mampu menyampaikannya di hadapan umat, mempelajarinya saja untuk diriku sendiri, aku tak mampu.



Maafkan aku saudaraku, jangan pernah menyebut lagi namaku dalam doa-doamu, sebab itu sia-sia. Aku sedang belajar melupakan kalian semua. Mencari cara yang tepat dan paling nyaman untuk memiliki kepribadian dan gaya berpikir yang baru. Aku ingin disibukkan dengan sesuatu yang tak jumud, seperti kesibukan kalian. Aku ingin bebas seperti burung-burung mengangkasa. Aku tak pandai bila harus menyamai kalian, kesibukan di jalan dakwah pada pagi, siang, sore, dan malam.



Dan kini aku telah mendapatkan secangkir madu yang membuat lidahku bergetar karena manisnya, senyumnya, “alhamdulillah, ini prestasiku, menunjukkan kesejatian profesiku sebagai lelaki” (kalbuku bergumam). Ada sekuntum bunga di taman yang senantiasa kusiram, aku buat hari-harinya gelisah tanpaku, aku buat dzikir-dzikirnya kepada sang Ilahi menjadi terbagi dengan kehadiran diriku atas sekuntum itu. Subhanallah, keindahan tiada tara yang mungkin Allah berikan kepadaku, ujarku dalam hati. Di bawah langit saat sore hari, aku temani bunga itu di taman-taman kesetiaan dan penuh harapan. Oh betapa bahagianya diriku. Aku sih sebenarnya siap-siap saja ketika di yaumil akhir ditanya tentang kelalaian ini, aku punya jawaban sendiri dan kalian semua tak pernah thu dan tak akan pernah mengerti dan mau memahami jawabanku.



Hari ini aku sedang dibuai dengan kedahsyatan kisah hidup. Persetan dengan prinsip yang amat konservatif, seperti prinsip yang pernah kita bangun dahulu dalam diri dan gerak laku hari-hari kita. Aku memang lupa dengan semua hal itu, dan memang telah ingin melupakannya sejak beberapa waktu yang lalu tanpa kalian sadari. Biasalah kawan, ada kalanya iman itu menurun, hehehe. Kawan, tinggalkan aku, atau saatnya bagiku untuk pergi dari pandangan kalian. Telah tiba masanya, aku melangkahkan kaki menemui harapanku, menemui masa depanku dengan caraku sendiri, tak peduli entah bagaimana kelanjutannya, semoga saja Allah merahmatiku J Amin, dan berharap Ia ridho dengan keputusanku ini serta mau menolongku agar aku mudah menggapai cita-cita masa depanku.



Maafkan aku saudaraku… Bahwasanya sejarah pertemuan dengan kalian adalah saat istimewa dalam hidupku, dan aku pahat ia dalam dinding jiwaku sebagai kenangan. Pada waktu yang sedang berjalan, aku letakkan kenangan itu di belakang punggungku dan berujar : Selamat Tinggal, aku berpamit darimu dalam sukacita.



Catatan-Catatan Tarbiyah 2011, Ironisme Impian dan ‘Ghururisasi’, ah entahlah kawan… Surat ini kutulis dengan amat tergesa

2 komentar:

Anonim mengatakan...

spertinya setiap orang pernah mengalami masa2 seperti ini.. kejumudan.

JHD Musa (jehademusa) mengatakan...

oiya, sebelumnya sy tegaskan, apa yg tertulis di atas bukan ttg saya, cuma menyampaikan cerita dari sisi/dunia lain.

8 Tulisan Populer Pekan Ini