Jika sebuah
judul sebuah tulisan berbentuk kalimat tanya maka otomatis isi
tulisannya adalah memberi jawaban. Ini tentang pilihan antara dua hati, satu
hati memilih ke sini atau satu hati memilih ke sana. Karena hanya punya satu
hati, tidak mungkin mendua di dalam pilihan. Harus ada keputusan, berat memang,
akan tetapi dalam sejarahnya “pilihan” maka setiap yang namanya pilihan ya
harus dipilih. Bukan begitu?
Saya memilih Wafda atau Wirda? Mari kita simak
ulasan di bawah. Jika iman telah terpatri rapi, kokoh di dalam dada, menentukan
pilihan bukanlah hal sulit. Ikuti saja kehendak-Nya dan insyaAllah di sana ada
kebaikan, rahmat, dan perlindungan-Nya. Bukan begitu? Ya, begitulah. Jika
memilih isteri juga begitu, memilih gadis mana yang cocok untuk menemani
kehidupan dan mengisi relung iman kita. Bagaimana memilihnya, Allah punya
tuntunan tentang itu. Kalau soal memilih, pilihlah yang menetramkan dan
menyejukkan mata hati. Di sana ada cinta, ya cinta. Bismillah, mari kita
lanjutkan dulu tulisan ini.
Pada waktu shubuh tadi, saya melewati bacaan dari
Al Qur’an Surat Maryam. Ada dua kalimat Al Qur’an yang menginspirasi tulisan
ini. Kalimat pertama yang saya baca: “yauma nahsyurul muttaqina ilarrahmani wafda” (19:85) yang artinya pada hari
kami mengumpulkan orang-orang bertaqwa di hadapan Yang Maha Pengasih “bagaikan
kafilah yang terhormat”. Kemudian disusul oleh (19:86), saya baca: “wa nasuqulmujrimina
ila jahannama wirda”, dan kami
giring orang-orang berdosa ke dalam neraka jahanam “dalam keadaan dahaga”.
Translasi kedua makna ayat saya ambil dari mushhaf Depag RI yang diterbitkan ‘Syaamil’.
Tentang ketepatan makna da tafsir detil tentang ‘Wafda” dan “Wirda” bukanlah
fokus tulisan saya, lantaran ilmu saya sendiri yang tidak ada apa-apanya. Namun
secara umum mengisyaratkan bahwa di dalam dua ayat itu ada pilihan bagi kita,
wafda atau wirda? Dikumpulkan secara terhormat atau Digiring dalam keadaan
dahaga?
Satu syarat memiliki wafda adalah dengan taqwa.
Satu syarat untuk memiliki wirda adalah dengan dosa. Silakan dipilih, dipilih,
dipilih dan dipilih. Hidup adalah pilihan dan pilihan berada di sepanjang
proses hidup. Setiap detik adalah pilihan. Memilih itu tiada masa sudahnya.
Setiap waktu adalah memilih, memilih, kemudian memilih dan terus memilih. Golongan
putih pun bukan berarti tidak memilih, ia harus memilih untuk tidak
bergolongan. Dalam perkara “wafda dan wirda”, tidak ada golongan putih yang
termaknai sebagai memilih wafda dan juga tidak memilih wirda. Yang ada hanya
dua, memaknai putih sebagai taqwa atau memaknai putih sebagai tak bertaqwa (menjadi
pendosa).
Dari lubuk hati paling dalam, atas nama cinta yang
berkomitmen, akhirnya saya mengajak semua pembaca untuk (belajar) memilih wafda,
belajar untuk menjadi generasi taqwa, genarasi yang dikasihi, yang berkumpul
dalam barisan terhormat di hadapan Rabb semesta alam. Maafkan kami wirda, bukan
karena namamu yang tak cantik dan tak indah yang membuat kami tak memilihmu.
Ini karena makna terselubung dari dirimu, sungguh kami takut digiring dalam
keadaan dahaga sehingga tidak ingin menjadi pendosa.
Saya memilih Wafda, bismillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar