SELAMAT DATANG DI SITUS BLOG HADZIHI SABILI - JEHADEMUSA

Senin, 02 April 2012

MASJID KAMPUS DAN AKTIVITAS BERQUR’AN


Sebuah catatan sederhana dari seorang ‘abdurrahman*) berupa sumbangan saran kepada rekan-rekan saya, adik-adik saya (jika saya dianggap sebagai kakak, abang, atau uda), saudara-saudari saya aktivis dakwah kampus dimanapun antum sedang bekerja.

Bismillahirrahmanirrahim.

Perlu menjadi catatan, sebenarnya saya tidak memiliki kapabilitas dan kapasitas yang mumpuni sehingga membuat tulisan saya ini amat layak menjadi sebuah nasihat. Bak kata orang, sungguh jauh panggang dari api. Meskipun demikian, dari mana saja kebenaran datang maka perlulah kiranya dipertimbangkan untuk segera dilaksanakan, ya, kalau itu suatu kebenaran.

Ide tulisan ini berawal dari pengamatan yang sudah bertahun-tahun, meski tidak terlalu teliti, terhadap aktivitas-aktivitas dari sebuah lembaga dakwah kampus. Sehingga perlu ada serangkaian tindakan pemecahan atau solusi bila itu dianggap sebagai suatu masalah yang akan mengganggu perjalanan dakwah kampus.

Pertama, adanya penurunan kecintaan para aktivis dakwah kampus terhadap masjid. Terbukti bahwa masjid-masjid beberapa kampus kini telah mulai ‘kosong’. Jarang sekali kegiatan dilakukan di dalamnya. Para aktivis lebih sering menyelenggarakan puluhan agenda di aula-aula, di auditorium, di lapangan, koridor, taman, kawasan parkir, alam bebas, dan sebagainya. Aktivitas untuk menambah amal pun sudah semakin jarang kita temukan di dalam masjid. Dhuha dan tilawah yang selayaknya dapat dilakukan di masjid ketika aktivis dakwah sedang berada di kampus, telah menjadi aktivitas asing. Kegiatan tarbiyah tsaqafiyah atau ta’lim-ta’lim yang diadakan di masjid semakin sepi pengunjungnya. Ada apa ini? Adakah pertanda yang buruk bagi dakwah kampus.

Ingat sejarah, mungkin antum lebih memahaminya dari saya. Kejayaan dakwah kampus hari ini (bila boleh dikatakan sebagai kejayaan) adalah buah dari kecintaan para aktivis terdahulu kepada masjidnya. Kecintaan ini adalah hasil dari keimanan mereka yang amat tinggi kepada Allah. Sebagaimana ditegaskan pula di dalam Al-Qur’an bahwa hanya orang-orang yang beriman saja yang memakmurkan masjid. Allah memberikan ketenangan di dalam kalbu orang-orang beriman, inilah kunci kemenangan yang membuahkan kejayaan itu.

Kedua, adanya penurunan kafa’ah syar’i yang ditampakkan oleh sebagian atau hampir seluruh aktivis dakwah kampus. Ini adalah kenyataan yang harus diterima. Jangan malu untuk berkata jujur bahwa banyak aktivis dakwah kampus yang kita banggakan tidak memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an yang mumpuni, apalagi kalau yang ditanya adalah berapa banyak hafalan Qur’an yang mereka miliki. Tentu jawabannya akan membuat kebanggaan itu berubah menjadi kebanggaan semu. Astaghfirullah.

Saya sering menyampaikan bahwa persoalan kita dalam membaca Al-Qur’an adalah hanya dua hal saja: 1) soal kelancaran membaca; dan 2) soal kebenaran membaca. Kelancaran diperoleh dengan rajin membaca sementara kebenaran diperoleh dengan belajar menirukan sumber aslinya, ini hanya didapatkan dengan belajar langsung kepada gurunya. Adalah suatu hal yang mustahil bila dilakukan secara otodidak. Sang Rasul saja belajar bagaimana membaca Al Qur’an dengan benar tidak menggunakan model belajar otodidak!

Kajian-kajian tafsir Al-Qur’an sebaiknya dijadikan sebagai kegiatan ‘wajib’ bagi aktivis dakwah kampus. Mungkin bagi mereka yang terlibat di dalam penentuan langkah-langkah strategis dakwah kampus, “kehadiran” dalam halaqoh tafsir harus menjadi pertimbangan dalam mengangkat mas’ul-mas’ul dakwah kampus. Saya tidak terlalu paham proses jarh dan ta’dil, tetapi saya pikir penilaian tentang kehadiran dalam majlis tafsir Al-Qur’an harus ‘include’ di dalamnya. Persoalan ini jangan diabaikan, sebab program-program di halaqah tarbiyah dirasa belum mampu untuk menggenapinya. Walaupun selalu ada pembenahan dalam pertemuan singkat itu tetapi dipandang tidak cukup. Aktivis dakwah kampus dianjurkan untuk mengikuti tarbiyah tsaqafiyah, ta’lim umum, dan sebagainya namun dalam hal kehadiran pada bab “tafsir Al-Qur’an”, tidak boleh ada tawar menawar lagi dari sang aktivis untuk tidak menghadirinya. Sehebat apapun alasan syar’inya, tetap diupayakan untuk hadir.

Mengakhiri tulisan ini, saya sebenarnya ingin mengingatkan kembali agar semua aktivis dakwah menggiatkan kembali program-program tahsin, tahfizh, dan tafsir Qur’an yang dilakukan di dalam masjid kampus. Mari kita kembalikan dakwah kampus menuju kejayaan yang hakiki, agar orang-orang yang kita harapkan kelak berafiliasi kepada Islam menjadi orang-orang yang memang benar-benar memiliki kecintaan yang kuat kepada Islam, berlandaskan kepada manhaj yang asasi, tidak didasarkan atas semangat yang kosong. Di zaman ini kita juga merasakan hawa kompetisi antara sesama aktivis dakwah, ada yang promosi hadits dan sunnah Nabi, ada yang promosi khilafah dan syari’at, maka sudah saatnya kita terangkan pada dunia bahwa kita mempromosikan Al-Qur’an, yakni sebagai dasar utama dan bingkai bagi segala promosi-promosi dari yang lain-lain itu.

Wallahu a’lam.

+++++

*) Ditulis oleh Jul H. D., alumnus Forum Studi Islam - Lembaga Dakwah Kampus Universitas Andalas (2004-2009), pernah aktif di majlis tahsin dan tahfizh Al Quran Kampus FMIPA, dan sempat bergiat untuk pemunculan ma’had Rabbani di Masjid Nurul ‘Ilmi Kampus Universitas Andalas (2007-2008), meskipun pada akhirnya kenyataan tidak seindah impian.

Tidak ada komentar:

8 Tulisan Populer Pekan Ini