Sebuah catatan sederhana dari seorang ‘abdurrahman*) berupa sumbangan saran kepada rekan-rekan saya, adik-adik saya (jika saya dianggap sebagai kakak, abang, atau
uda), saudara-saudari saya aktivis dakwah kampus dimanapun antum sedang
bekerja.
Bismillahirrahmanirrahim.
Perlu menjadi catatan,
sebenarnya saya tidak memiliki
kapabilitas dan kapasitas yang mumpuni sehingga membuat tulisan saya ini amat layak menjadi sebuah nasihat. Bak kata orang, sungguh jauh panggang dari api. Meskipun
demikian, dari mana saja kebenaran datang maka perlulah kiranya dipertimbangkan
untuk segera dilaksanakan, ya, kalau itu suatu kebenaran.
Ide tulisan ini berawal dari
pengamatan yang sudah bertahun-tahun, meski tidak terlalu teliti, terhadap
aktivitas-aktivitas dari sebuah lembaga dakwah kampus. Sehingga perlu ada serangkaian
tindakan pemecahan atau solusi bila itu dianggap sebagai suatu masalah yang akan
mengganggu perjalanan dakwah kampus.
Pertama, adanya penurunan
kecintaan para aktivis dakwah kampus terhadap masjid. Terbukti bahwa masjid-masjid
beberapa kampus kini telah mulai ‘kosong’. Jarang sekali kegiatan dilakukan di
dalamnya. Para aktivis lebih sering menyelenggarakan puluhan agenda di
aula-aula, di auditorium, di lapangan, koridor, taman, kawasan parkir, alam
bebas, dan sebagainya. Aktivitas untuk menambah amal pun sudah semakin jarang kita
temukan di dalam masjid. Dhuha dan tilawah yang selayaknya dapat dilakukan di
masjid ketika aktivis dakwah sedang berada di kampus, telah menjadi aktivitas
asing. Kegiatan tarbiyah tsaqafiyah atau ta’lim-ta’lim yang diadakan di masjid
semakin sepi pengunjungnya. Ada apa ini? Adakah pertanda yang buruk bagi dakwah
kampus.
Ingat sejarah, mungkin antum lebih memahaminya dari saya.
Kejayaan dakwah kampus hari ini (bila boleh dikatakan sebagai kejayaan) adalah buah
dari kecintaan para aktivis terdahulu kepada masjidnya. Kecintaan ini adalah
hasil dari keimanan mereka yang amat tinggi kepada Allah. Sebagaimana
ditegaskan pula di dalam Al-Qur’an bahwa hanya orang-orang yang beriman saja
yang memakmurkan masjid. Allah memberikan ketenangan di dalam kalbu orang-orang
beriman, inilah kunci kemenangan yang membuahkan kejayaan itu.
Kedua, adanya penurunan kafa’ah
syar’i yang ditampakkan oleh sebagian atau hampir seluruh aktivis dakwah
kampus. Ini adalah kenyataan yang harus diterima. Jangan malu untuk berkata
jujur bahwa banyak aktivis dakwah kampus yang kita banggakan tidak memiliki
kemampuan membaca Al-Qur’an yang mumpuni, apalagi kalau yang ditanya adalah
berapa banyak hafalan Qur’an yang mereka miliki. Tentu jawabannya akan membuat kebanggaan
itu berubah menjadi kebanggaan semu. Astaghfirullah.
Saya sering menyampaikan bahwa
persoalan kita dalam membaca Al-Qur’an adalah hanya dua hal saja: 1) soal
kelancaran membaca; dan 2) soal kebenaran membaca. Kelancaran diperoleh dengan
rajin membaca sementara kebenaran diperoleh dengan belajar menirukan sumber
aslinya, ini hanya didapatkan dengan belajar langsung kepada gurunya. Adalah
suatu hal yang mustahil bila dilakukan secara otodidak. Sang Rasul saja belajar
bagaimana membaca Al Qur’an dengan benar tidak menggunakan model belajar otodidak!
Kajian-kajian tafsir Al-Qur’an
sebaiknya dijadikan sebagai kegiatan ‘wajib’ bagi aktivis dakwah kampus.
Mungkin bagi mereka yang terlibat di dalam penentuan langkah-langkah strategis
dakwah kampus, “kehadiran” dalam halaqoh tafsir harus menjadi pertimbangan
dalam mengangkat mas’ul-mas’ul dakwah kampus. Saya tidak terlalu paham proses
jarh dan ta’dil, tetapi saya pikir penilaian tentang kehadiran dalam majlis
tafsir Al-Qur’an harus ‘include’ di dalamnya. Persoalan ini jangan diabaikan,
sebab program-program di halaqah tarbiyah dirasa belum mampu untuk
menggenapinya. Walaupun selalu ada pembenahan dalam pertemuan singkat itu tetapi
dipandang tidak cukup. Aktivis dakwah kampus dianjurkan untuk mengikuti
tarbiyah tsaqafiyah, ta’lim umum, dan sebagainya namun dalam hal kehadiran pada
bab “tafsir Al-Qur’an”, tidak boleh ada tawar menawar lagi dari sang aktivis untuk
tidak menghadirinya. Sehebat apapun alasan syar’inya, tetap diupayakan untuk
hadir.
Mengakhiri tulisan ini, saya
sebenarnya ingin mengingatkan kembali agar semua aktivis dakwah menggiatkan
kembali program-program tahsin, tahfizh, dan tafsir Qur’an yang dilakukan di
dalam masjid kampus. Mari kita kembalikan dakwah kampus menuju kejayaan yang
hakiki, agar orang-orang yang kita harapkan kelak berafiliasi kepada Islam menjadi
orang-orang yang memang benar-benar memiliki kecintaan yang kuat kepada Islam,
berlandaskan kepada manhaj yang asasi, tidak didasarkan atas semangat yang
kosong. Di zaman ini kita juga merasakan hawa kompetisi antara sesama aktivis
dakwah, ada yang promosi hadits dan sunnah Nabi, ada yang promosi khilafah dan
syari’at, maka sudah saatnya kita terangkan pada dunia bahwa kita mempromosikan
Al-Qur’an, yakni sebagai dasar utama dan bingkai bagi segala promosi-promosi dari
yang lain-lain itu.
Wallahu a’lam.
+++++
*) Ditulis oleh Jul H. D., alumnus
Forum Studi Islam - Lembaga Dakwah Kampus Universitas Andalas (2004-2009),
pernah aktif di majlis tahsin dan tahfizh Al Quran Kampus FMIPA, dan sempat bergiat
untuk pemunculan ma’had Rabbani di Masjid Nurul ‘Ilmi Kampus Universitas
Andalas (2007-2008), meskipun pada akhirnya kenyataan tidak seindah impian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar