SELAMAT DATANG DI SITUS BLOG HADZIHI SABILI - JEHADEMUSA

Sabtu, 17 September 2011

Jangan Mau Pikun

Hanya catatan sederhana, pengalaman pribadi dengan seorang kakek di sebuah masjid.

Percaya atau tidak, kita akan kembali ke masa kecil setelah melewati usia yang terbilang lanjut. Ini adalah sunnatullah atau katakan saja sebagai wajar bila terjadi, akan tetapi tidak semua manusia mengalaminya. Dalam arti bahwa ada juga manusia yang fungsi kecerdasannya masih baik hingga ahir usia. Hal ini pun amat jarang terjadi (dengan kata lain, manusia hampir dipastikan mengalami pikun pada usia lanjut). Faktor lain yang berpengaruh atas ketidakpikunan adalah karena si fulan lebih dahulu dijemput malaikat maut sebelum usianya lanjut, hehe alias mati duluan/mati muda.

Dalam kehidupan sehari-hari terkadang, jujur, saya pribadi sering atau pernah merasa kesal pada mereka yang terkategorikan pikun karena lanjut usia. Pikun itu bukan kehendak si empunya pikun, kakek atau nenek yang kita temui itu. Hanya saja sebagai manusia, aneka perangai yang mereka tampilkan terkesan menjengkelkan bahkan bisa saja menciptakan ‘trouble’ bagi sekitarnya. Masing-masing kita mungkin pernah punya pengalaman pribadi dengan mereka. Satu kata, sabarlah, giliranmu kelak akan tiba, hahaha.

Tulisan ini saya angkat berawal dari kisah menjijikkan yang memberikan inpirasi sederhana. Katakan saja begitu, hehe. Suatu hari saya menunaikan shalat zhuhur di Masjid Raya Magat Sari, masjid ini lokasinya tidak jauh dari pusat keramaian pasar Kota Jambi. Mungkin kalau di Padang, masjid yang serupa adalah Masjid Taqwa Muhammadiyah di bundaran Pasar Raya Kota Padang.

Siang itu, sepulang dari belanja barang-barang kebutuhan sehari-hari, saya mendengar panggilan adzan. Meskipun saya berstatus musafir (statusnya dalam perjalanan, saya berdomisili sekitar 135 Km dari luar Kota Jambi), tetapi tetap saja ada keinginan untuk bergabung dengan jama’ah umum, biarlah. Saya hanya berniat mengambil jama’ taqdim qashar untuk shalat ashar saja. Segera setelah tiba di masjid, saya langsung menitipkan sandal dan menukarkannya dengan kupon. Saya berwudhu’ menggunakan sandal jepit dari petugas penitipan sandal masjid. Penitipan sandal semacam ini tampaknya sudah menjadi kebiasaan pada hampir setiap masjid di dekat pusat-pusat keramaian. Menarik memang. Konon kabarnya, ia telah menjadi salah satu unit bisnis. Menariknya, unit bisnis ini tidak di’handle’ oleh pengurus masjid. Ada jasa pihak ketiga yang bermain. Penyebab budaya penitipan sandal ini mungkin telah sama-sama kita ketahui, hehe, lain waktu kita bahas.

Melanjutkan cerita di atas, jarak antara penitipan sandal menuju tempat berwudhu ada sekitar 5 meter, melewati samping masjid. Dari jendela samping masjid, saya dapat melihat jamaah sudah banyak berdatangan, sementara adzan sedang berkumandang. Cerita uniknya, seorang kakek terburu-buru menuju jendela, beliau batuk beberapa kali, dan sepertinya ingin mengeluarkan dahak. Wah wah wah, sang kakek membuangnya di dekat jendela, tetapi bukan ke arah luar jendela. Beliau membuang dahaknya di dekat jendela, di dalam area karpet masjid! Hmmm, luar biasa nekat! Dengan geleng kepala, saya berujar dalam hati astaghfirullah, sambil memberitahukan kepada petugas penitipan sandal tadi. Saya juga sudah catat bagian masjid yang menjadi tempat pembuangan dahak itu, lengkap dengan fotonya. Semoga di lain waktu saya tidak duduk di dekat itu. Lebih baik duduk di sekitar shaf depan saja, hehe. InsyaAllah lebih aman.

Mari kita tinggalkan kisah di atas. Saya akan melanjutkan dengan yang lainnya. Sekadar ingin menyampaikan bahwa ada juga beberapa keistimewaan dari Allah ‘azza wa jalla terhadap mereka yang usianya telah lanjut, salah satunya adalah diberikan-Nya berbagai keringanan bagi mereka dalam urusan ibadah. Allah amat mengetahui dan memahami hamba-hamba-Nya dalam kategori ini. Jika Allah sendiri telah memaklumi dan amat mafhum tentang keadaan mereka, mengapa kita tidak? Dalam urusan shaum (puasa-red) misalnya, seorang mukmin yang tidak sanggup berpuasa karena kondisi fisik yang tidak memungkinkan untuk berpuasa karena faktor usia, Allah memberikan keringanan yakni bolehnya mengganti shaum tersebut dengan membayar fidyah sesuai dengan ketentuan yang disyariatkan. Apatah lagi bagi mereka yang memang ‘benar-benar’ pikun, di sini Allah tidak mewajibkan ibadah, sebab ibadah itu sendiri hanya disyariatkan bagi orang-orang yang ‘normal’ saja, berakal, sadar, dan tidak hilang kendali. Keringanan ini berlaku bagi mereka yang pikunnya serius, yakni sudah memasuki stadium tingkat tinggi.

Yang lebih parahnya adalah pikun sebelum usia lanjut, tanya kenapa! Orang-orang yang pikun sebelum usianya lanjut adalah mereka yang seringkali mengambil sisi ringan dalam urusan ibadah, padahal Allah tidak punya ketentuan keringanan untuk mereka. Shalat ala kadarnya, shaum juga begitu. Konon kabarnya, mereka beribadah seringan-ringan mungkin, tanpa beban, ibadah tidak beraturan, malah acak-acakan. Saya melihat di sekitar kita ternyata banyak yang telah pikun sebelum usia lanjut. Kalau begini ceritanya, jangan mau ya! Jangan mau pikun.
Dari kamar Mess Biru LPPPI

Tidak ada komentar:

8 Tulisan Populer Pekan Ini