Catatan Pribadi
Sebagai Panduan Awal Bagi Industri Halal
Berikut ini saya akan tuliskan secara umum 11
kriteria halal yang telah ditetapkan oleh LPPOM MUI. Sebelas kriteria ini
menjadi syarat untuk memperoleh Sertifikat Halal dan Status Implementasi Sistem
Jaminan Halal (SJH).
Saya disekolahkan perusahaan ke LP POM MUI untuk mengikuti Training tentang SJH |
Pertama, perusahaan harus memiliki kebijakan tertulis
(policy) tentang komitmen
halal yang diikrarkan oleh
Manajemen Puncak dari perusahaan tersebut. Menurut saya ini semacam pernyataan
sejenis “syahadat” bahwa perusahaan tersebut berjanji dengan sungguh-sungguh
akan menerapkan sistem jaminan halal di perusahaannya. Apabila terjadi
ketidaksesuaian terhadap apa yang diikrarkannya maka pihak manajemen puncak ini
atau orang-orang yang terlibat di dalam perusahaan tersebut yang akan
menanggung “dosa” akibat ketidak-halalan dan atau ketidaksesuaian komitmen halal
mereka.
Kedua, perusahaan harus memiliki bagian tersendiri yang disebut
Tim Manajemen Halal Internal. Diutamakan yang beragama Islam dan mengerti
tentang strategi dan teknik implementasi sistem jaminan halal di perusahaan. Tim
Manajemen Halal ini diangkat melalui keputusan resmi manajemen puncak perusahaan,
keanggotaannya merupakan karyawan tetap perusahaan dan berasal dari
bagian-bagian (seksi/departemen/divisi) yang memiliki aktivitas kritis di
perusahaan. Bagian-bagian tersebut adalah pembelian bahan, kendali kualitas
bahan masuk, penelitian dan pengembangan, pergudangan bahan dan produk, proses
produksi, pengangkutan/distribusi bahan dan produk, serta bagian pelatihan dan
edukasi.
Ketiga, perusahaan memastikan bahwa
semua pihak yang
terlibat secara langsung di
dalam implementasi sistem jaminan halal telah mengikuti training tentang kebijakan halal dan sistem
jaminan halal. Perusahaan juga wajib mengadakan edukasi halal
di seluruh lapisan di internal perusahaan dan pihak-pihak terkait dengan
kativitas perusahaan, seperti kontraktor dan pemasok.
Keempat, perusahaan harus memastikan bahwa bahan
yang digunakan dalam proses produksi telah mendapat persetujuan dari LPPOM MUI
untuk penggunaannya. Khusus untuk bahan-bahan tertentu yang masuk ke dalam
kategori positif, yakni bahan-bahan yang tidak kritis maka perusahaan boleh
langsung menggunakannya namun tetap memberikan laporannya melalui pencantuman
bahan tersebut di dalam daftar bahan halal.
Kelima, fasilitas produksi yang digunakan harus terjamin dari adanya
kontaminasi dengan
bahan non halal atau bahan najis. Bahan non halal adalah bahan yang diragukan status kehalalannya, jadi
bersifat lebih luas dari pada bahan haram. Bahan non halal juga dapat termasuk
bahan yang masih syubhat, diragukan kehalalannya, meskipun bukan secara
langsung berasal dari bahan haram (babi dan turunannya).
Keenam, produk akhir dari proses
produksi halal harus tidak
berasosiasi dengan nama
produk haram. Nama produk yang
sengaja atau tidak sengaja diasosiasikan dengan nama produk haram seperti babi,
anjing, dan sebagainya tidak dapat memenuhi kriteria halal. Saat ini mungkin
ada makanan yang bernama “hot dog”, bagaimanapun bahan-bahan dan fasilitas
produksinya suci dan halal maka tetaplah disebut sebagai produk haram karena
namanya berasosiasi dengan “dog” (anjing). Sebuah nama sangat menentukan karena
ia adalah doa dan pengharapan!
Ketujuh, perusahaan harus memiliki prosedur dan ketentuan rinci yang tertulis tentang penanganan kegiatan di bagian aktivitas
kritis. Seperti yang saya
tuliskan pada kriteria kedua di atas misalnya di bagian pembelian, bagian ini
harus memiliki prosedur tertulis yang dirancang sedemikian rupa untuk menjaga
aktivitas sesuai dengan kriteria dan ketentuan halal. Misalnya ada prosedur
pengecekan bahan sebelum membeli, apakah terdaftar dalam bahan halal atau
tidak. Atau prosedur lain berupa arahan koordinasi dengan Tim Manajemen Halal
internal apabila ada pembelian bahan baru yang tidak tercatum dalam daftar
bahan halal, dan sebagainya.
Kedelapan, perusahaan harus memiliki prosedur
penanganan tentang
produk akhir yang tidak memenuhi kriteria halal, misalnya dengan merumuskan tata cara penarikan produk apabila
telah dikeluarkan dari pabrik, penandaan bahan, dan sebagainya diatur secara
detil terperinci dengan baik untuk menghindari resiko penggunaan bahan
non-halal tersebut oleh masyarakat (konsumen).
Kesembilan, setiap produk akhir harus memiliki
daya telusur yang baik. Ketertelusuran (traceability) sebuah produk setidaknya
adalah waktu produksi, bahan, dan fasilitas yang digunakan pada saat itu. Hal
ini memungkinkan secara cepat untuk mengetahui asal usul bahan dan statusnya
pada saat pemeriksaan/audit dan atau dalam keadaan seperti adanya keluhan
pelanggan, dan sebagainya.
Kesepuluh, adanya pelaksanaan audit internal secara berkala dan dilaporkan ke LPPOM MUI dan pihak manajemen puncak perusahaan. Audit dilaksanakan oleh auditor/tim
halal internal yang
berkompeten melaksanakan audit ke seluruh bagian yang memiliki aktivitas kritis.
Ruang lingkup audit ini meliputi sistem dokumentasi dan operasional di
lapangan.
Kesebelas, perusahaan mengagendakan setidaknya
sekali dalam setahun adanya pelaksanaan forum (rapat) tinjau ulang sistem manajemen. Hasil pelaksanaan auidt dan evaluasi
implementasi SJH secara umum dilaporkan dan dibahas di forum ini.
Demikian sekilas tentang kriteria halal, sebenarnya
perlu diskusi lebih lanjut
untuk bisa memahaminya secara jelas, baik dalam hal sistem
dokumentasi dan pelaksanaannya di lapangan. Sebagai informasi bahwa saat ini
saya tengah menjalankan amanah sebagai Sekretaris Sistem Jaminan Halal dan Auditor
Halal Internal sebuah perusahaan besar yang telah meraih sertifikat halal dan
memiliki status implementasi Sistem Jaminan Halal dari LPPOM MUI. Saya menulis
ini sebagai bagian pembelajaran diri, juga agar ilmu saya semakin berkah. Apabila
ada kesalahan dalam penafsiran, saya bersedia dikoreksi. Penafsiran kriteria
yang paling benar dan sempurna adalah pada pihak LPPOM MUI.
Sekian dan terima kasih. SALAM HIDUP HALAL!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar