Sekilas tulisan ini bukanlah tulisan bermutu. Dilihat dari judulnya saja terkesan sebagai sebuah gurauan. Meskipun demikian, ini adalah hasil dari perenungan saya tentang proses menggapai sebuah cita-cita ala Islam.
Sebagai umat yang beragama, khususnya Muslim, kita tentu saja mendambakan surga. Ini adalah cita-cita puncak kita di tengah aktivitas keduniaan kita yang dari hari ke hari membuat kita semakin sibuk dan sibuk. Dalam menuju cita-cita berupa surga, ada berbagai macam pandangan orang dalam meraihnya. Ada yang serius, menjadikan surga adalah prioritas amal-amalnya. Ada juga sebaliknya, orang-orang yang menjadikan aktivitas menggapai surga adalah aktivitas sambilan. Pandangan yang terakhir ini sepertinya agak kacau dan tidak boleh ditiru.
Di sini saya mengungkapkan bahwa bagaimanapun keadaan kita, apa saja yang sedang kita hadapi, kita tidak boleh mengubah cita-cita kita menggapai surga. Biarpun posisi kita dipandang manusia masuk dalam kategori pandangan “terakhir di atas, tetap saja kita punya niat yang sama, yakni masuk surga.
Perbedaan kemudian terjadi secara signifikan pada prosesnya. Seperti yang saya jelaskan tadi. Upaya orang berbeda-beda untuk menggapainya. Saya mencoba menawarkan sebuah alternatif yang merupakan cara terbaik untuk meraih cita yakni “biarkan dirimu agar cita mengejarmu”.
Hari ini kita seringkali melihat orang yang menggunakan istilah “mengejar cita”. Istilah ini sebaiknya tidak dipakai karena hanya akan menguras energi berproses. Mari pakai istilah “diam” agar cita berhasil mengejar kita. Maksud diam di sini adalah tetap berada pada jalurnya. Kalau Islam memberikan terminologi tentang “diam” ini yakni ISTIQAMAH. Tetaplah istiqamah niscaya cita-cita itu akan mengejarmu. Perayalah!
Yang diragukan bagi seseorang yang berproses meraih cita ialah kesanggupannya dalam istiqamah. Tidak semua orang memiliki power yang tangguh untuk tetap kokoh berproses. Inilah yang kemudian mengantarkan mereka ke jurang kegagalan dengan kata lain, cita-cita yang mereka idamkan tidak berhasil mengejar mereka. Ini disebabkan karena mereka tidak “diam”, bahka cenderung berlari dan berlari. Membuat cita-cita sulit menemui mereka.
Contoh sederhana, seorang yang malas belajar, malas membaca, malas menulis, malas berdiskusi, bagaimaa mungkin ia dapat menjadi orang yang berilmu. Ia pada saat sedang malas itu sedang berlari menjauh dari cita-citanya. Pada saat itu juga, cita-citanya (berupa ilmu) merasa kelelahan mengejarnya. Akhirnya tidak kesampaian, tidak tercapai, membuat dirinya gagal dan berlari dalam hidup dengan aneka kemalasan.
Sekarang, saatnya kita “diam” dan merelakan sepenuh hati agar cita-cita itu berhasil mengejar kita dan kita meraihnya. Jadi, kita bukan lagi mengejar cita.
=====ISTIQAMAH=====
Tidak ada komentar:
Posting Komentar