Hari Ahad 18 Maret 2012
Hari ini saya tidak ke kampus karena alasan badan kurang fit. Di atas meja belajar ada buku catatan liqo’. Saya bolak balik dan akhirnya bertemu dengan suatu halaman berisi catatan nasihat, sepertinya belum pernah saya tulis-terbitkan. Suatu pertemuan di malam hari tanggal 22 Maret 2011 bersama orang-orang istimewa, katakan saja begitu dan memang begitulah adanya! Kejadiannya sekitar setahun lalu, insyaAllah empat hari lagi catatan di dalam buku ini akan genap berusia satu tahun (22 Maret 2011 s/d 22 Maret 2012).
+++++
Adapun nasihat yang disampaikan oleh MR (baca : “Murabbi”) yakni tentang tanda-tanda seseorang ikhlas di dalam melakukan amal. Beberapa di antaranya ialah:
Pertama, takut dengan popularitas. Kita takut apabila diri populer di mata manusia sementara dosa-dosa berlumuran di dalamnya. Kita mengkhawatirkan jika anggapan orang tentang diri ini adalah yang baik-baik saja sedangkan itu hanya topeng pencitraan saja. Takut dengan popularitas bukan berarti bahwa popularitas itu diharamkan atas diri. Boleh-boleh saja populer jika pandai mengelolanya dengan baik, bukankah para Nabi dan Rasul adalah orang-orang populer di antara umatnya? Popularitas itu hendaknya diiringi dengan sikap hati-hati serta ketakutan yang tinggi kalau saja Allah murka atas popularitas yang dimiliki. Seorang da’i harus memiliki popularitas dalam arti yang baik di hadapan objek dakwahnya. Jika ketakutan senantiasa ada, maka inilah salah satu tanda keikhlasan itu ada dalam diri kita.
Kedua, cemas dengan ibadah yang dilakukan. Kecemasan ini adalah tentang diterima atau tidaknya suatu ibadah yang kita lakukan. Kita khawatir tentang semua ibadah yang kita lakukan ditolak oleh Allah. Tilawah Qur’an, shaum, shalat, infaq dilakukan dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi dari perbuatan riya’ dan dengan penuh pengharapan semoga Allah menerimanya. Jika kecemasan ini senantiasa ada, maka inilah salah satu tanda keikhlasan itu ada dalam diri kita. Saya pernah mendengar taushiyah dari seorang guru dakwah, bahwasanya para shalafush shalih itu memiliki ketakutan luar biasa atas ditolaknya amal-amal mereka ketimbang maksiat-maksiat yang mereka perbuat.
Ketiga, cenderung menyembunyikan amal. Kita tidak pernah memiliki niat bahwa amal kita harus dilihat oleh orang lain. Banyak orang-orang yang sengaja beramal dengan suatu keinginan agar orang melihatnya kemudian menghendaki agar orang lain memiliki penilaian positif atas dirinya. Dengan penilaian positif itu, seseorang akan mampu meraih tujuan duniawinya. Menyembunyikan amal bukan berarti setiap amal tidak boleh tampak. Menyembunyikan amal pada hakikatnya adalah tidak memiliki keinginan agar setiap amalnya harus dilihat atau ditampakkan pada orang lain.
Keempat, tidak mempermasalahkan posisi masing-masing. Bangunan jama’ah dakwah idealnya harus seperti bangunan yang tersusun kokoh. Kekokohan itu bermula dari adanya bagian-bagian yang saling menopang, ada yang menjadi atap, ada yang menjadi dinding, bahkan ada yang harus menjadi lantai dan fondasi. Menjadi lantai dan fondasi adalah kewajaran dan bukan sebagai kehinaan. Meski harus ‘diinjak’ demi mendukung atap dan dinding, kita tidak pernah mempermasalahkannya sedikitpun. Bekerja dan bekerja dengan tujuan semata hanyalah Allah, bukan yang lain. Ciri ketidak ikhlasan itu adalah jika ada satu titik noda terbesit di dalam hati tentang posisi lantai atau fondasi yang sedang kita emban.
Kelima, ridha Allah lebih utama dari ridha manusia. Tentang ini semua juga sudah mengetahuinya meskipun pada praktiknya tidak semudah yang diucapkan. Puncak dari segala aktivitas kehidupan kita harus mengutamakan keridhaan Allah. Ini memang berat tetapi harus dilakukan. Dengan tekad yang tinggi bahwa ridha manusia harus jauh lebih remeh dibandingkan dengan keridhaan Allah.
Keenam, marah karena Allah. Pernahkah Anda marah? Silakan saja marah tetapi marah itu hendaknya karena Allah. Jika seorang muslim di sekitar, kita dapati berbuat maksiat secara terang-terangan dan tanpa menghiraukan nasihat-nasihat yang bertubi terhadapnya, maka marahlah! Marahi ia karena Allah dan bukan benci. Marah tidak berarti benci. Jika jenis marah ini melekat dalam diri kita maka yakinlah, itu adalah satu di antara tanda keikhlasan yang kita miliki.
Ketujuh, gembira jika ada sahabat yang memiliki kelebihan. Ada manusia yang susah melihat orang senang atau punya kelebihan. Karakter buruk ini hendaknya kita jauhkan. Suatu ketika teman kita memiliki kelebihan, bergembiralah karena ini adalah modal bagi dakwah, keberuntungan bagi addin ini. Boleh jadi suatu saat kelak dengan kelebihan yang dimilikinya itu mampu memberikan nilai positif bagi dakwah Islam. Mungkin saja dengan kelebihan itu ia diangkat menjadi pemimpin di antara kita. Bergembiralah karenanya, itu suatu tanda ikhlas.
Terakhir, sabar menetapi jalan keikhlasan. Setiap kita harus menyadari bahwa untuk menjadi ikhlas itu tidak mudah. Banyak ujian yang akan datang menghampiri. Ada orang yang ikhlas tetapi keikhlasan yang dimilikinya itu hanya sesaat, tidak permanen. Sejatinya keikhlasan itu harus berkelanjutan. Kata kuncinya adalah harus ada kesabaran untuk menetapinya. Yakinlah, Allah bersama dengan orang-orang yang sabar. Apalagi bila kesabaran itu digunakan untuk tetap menjadi ikhlas. Subhanallah!
+++++
Poin-poin nasihat di atas hanya satu cuplikan saja dari ratusan pertemuan tarbiyah yang dilakukan selama bertahun-tahun. Inilah hebatnya generasi tarbiyah, mereka selalu dinasihati dari pekan ke pekan. Gurunya tidak berbayar, mereka tidak mengenal amplop. Semua dilakukan dengan keikhlasan berbiaya nihil. Sebab di zama ini banyak kita temukan bahwa ada keikhlasan yang berbiaya tinggi bahkan ada keikhlasan yang bertarif eksekutif, hehe. Mudah-mudahan keikhlasan tipe itu juga digolongkan dalam keikhlasan sejati, hanya Allah yang maha tahu.
Sangat jarang kita dapatkan seorang ahli ilmu di ‘tempat lain’ yang mau berbagi secara terus menerus di dalam majlis. Sangat sedikit ada seseorang yang mau membina dan menganggap binaannya tidak hanya sebagai murid tetapi juga sebagai anak (layaknya orangtua mendidik putra-putrinya), di satu sisi ia menganggap binaannya juga sebagai saudara kandungnya (layaknya kakak beradik). Cerita ini hanya kita dapatkan di dalam pertemuan tarbiyah. Bagaimanapun juga, tarbiyah itu tetap oke! Maka tetaplah di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar