Tanggal 29-30
Desember 2012, saya naik angkot di Kota Jambi. Biasanya selalu menggunakan
megapro tercinta tetapi karena si mega ditinggal di Tebing Tinggi, akhirnya
dengan terpaksa menggunakan jasa angkutan kota itu. Tidak mengapa,
mudah-mudahan banyak inspirasi. Ternyata benar, saya dapat satu pengalaman sehingga
tulisan ini dapat terbit di blog ini.
Ini adalah kisah
singkat ketika saya menaiki angkot di Jambi, memang ini bukan pertama, sudah
beberapa puluh kali saya naik angkot. Hanya saja baru kali ini merasa terpanggil
untuk menulis tentang sesuatu, ya sesuatu. Sesuatu tentang nasib Pak Sopir angkot di
Jambi. Simak tuturan tertulis berikut ini…
Oh ya, saya ingin menyatakan bahwa profesi sebagai seorang pengemudi
disebut sebagai SOPIR, bukan supir. Ini sekadar meluruskan beberapa kesalahan
yang acapkali terjadi. Kenapa? Karena di dalam KBBI hanya ada kata SOPIR, bukan
supir. Sopir berasal dari bahasa Perancis yakni CHAUFFEUR, yakni orang yang
mengemudikan kendaraan seperti mobil, truk, bus, dan sebagainya, sopir dibayar/memiliki
penghasilan dari aktivitas mengemudi kendaraan tersebut. Ok, sekarang
pengertiannya sudah saya sampaikan, tinggal kisahnya saja yang belum. Mari
terus baca tulisan di bawah ini… Hee.
Hari itu saya menaiki
salah satu angkot berwarna kuning Kota Jambi, lalu ketika tiba di sekitaran
terminal Rawasari (terminal angkot di Pasar Jambi), ada beberapa orang yang
bertugas mengumpulkan uang Rp. 1000 dari pak sopir angkot. Setelah saya tanya
ke pak sopir, beliau menjelaskan bahwa itu adalah uang untuk preman di sekitar
terminal ini. Orang menyebutnya sebagai uang keamanan, dan beberapa yang lain menyebutnya
sebagai sumbangan sukarela kepada organisasi pemuda di sekitar terminal. Namun
itu hanya akal-akalan saja untuk memperhalus pungutan liar yang dilakukan oleh
para preman pasar Jambi itu. “Berapa harus bayar sehari?” demikian saya
bertanya kepadapak Sopir. Pak sopir menyebutkan bahwa setiap satu putaran
angkot, wajib bayar 1000. Yang dimaksud dengan satu putaran adalah misalkan
angkot dengan jurusan Pasar – Mayang – Pasar, setiap singgah di terminal pasar harus
menyetor 1000 rupiah. Kasihan ya pak sopirnya?
Kemudian saya
tanyakan lagi kepada pak sopir, “persoalan ini sudah diberitahukan ke Dinas
Perhubungan pak?”, sambil tersenyum dan diam sejenak, “hmmm, mereka sebenarnya
tahu tetapi tidak punya kemampuan untuk menghentikannya.” “Lalu dengan pak
polisi bagaimana pak?”, “Aduh, sudah lah dik, biarkan saja. Ini adalah nasib
kami sebagai sopir angkot”.
Siapa yang harus
bertanggung jawab dengan kisah di atas? Jawab sendiri dalam hati ya.
Sekian… :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar