SELAMAT DATANG DI SITUS BLOG HADZIHI SABILI - JEHADEMUSA

Minggu, 03 Februari 2013

Profesi Saintis vs Profesi Insinyur



Marilah menundukkan hati seraya merenung dengan kesadaran yang tinggi bahwa Adam sebagai manusia pertama tak pernah menyebut dirinya saintis atau insinyur, meskipun secara langsung dan istimewa ia diajari oleh Tuhan tentang nama segala benda dan keadaan.



Marilah kita sadar bahwa hari ini perguruan tinggi di Indonesia tidak ada yang mencetak profesi insinyur! Kalaupun pernah ada sebelum tahun 1993, itu juga tidak disebut profesi. Kalaupun ada yang mash ingin membelanya, keberadaaannya hanya diakui sebatas gelar akademik Sarjana Teknik (ST). Bedakah antara gelar profesi dengan gelar akademik? Ya, tentu saja. Analoginya di dunia kedokteran, Sarjana Teknik itu sama dengan Sarjana Kedokteran. Itu adalah gelar akademik keduanya, bukan gelar profesi. Bila ingin menjadi insinyur, sebaiknya ada pendidikan profesi khusus bagi lulusan Fakultas Teknik untuk meraih gelar insinyur (Ir.), seperti halnya dokter yang wajib menjalani pendidikan profes dokter untuk meraih gelar dokter (dr.).

Marilah kita sepakati bahwa hari ini perguruan tinggi di Indonesia juga tidak ada yang betul-betul serius mencetak saintis. Kalaupun ada Sarjana Sains (S.Si.) itu juga gelar akademik. Bahkan pertimbangan untuk menyebutnya sebagai sebuah profesi jarang sekali dilontarkan oleh banyak orang. Bagi saya pribadi, para Sarjana Sains (apalagi yang baru lulus) adalah Saintis ‘muda’ saja belum layak dianggap sebagai suatu profesi spesifik. Saya tidak tahu dengan orang lain, pengalaman pribadi membuktikan bahwa setelah saya lulus dari perguruan tinggi SAINS ternyata saya belum bisa banyak berbuat untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Profesi saintis seharusnya dapat diajukan sebagai salah satu profesi setelah lulus dari Fakultas Sains. Dengan demikian eksplorasi sains lebih terkelola dengan baik dan dilakukan oleh orang-orang terdidik dan profesional di bidang tersebut. Ini juga penting untuk menghindari kemajuan ilmu pengetahuan yang membahayakan bagi kehidupan manusia. Sebab di setiap profesi ada kode etik yang perlu dijaga dan ditaati.

Kalau kita membaca sejarah, banyak sekali para penemu ilmu pengetahuan dan teknologi tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai saintis ataupun sebagai insinyur. Tidak ada pengakuan yang jelas dari diri mereka sendiri apakah mereka sebagai saintis atau sebagai insinyur. Yang penting bagi mereka adalah bekerja keras dan bekerja tekun dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kebaikan manusia. Ada kalanya mereka layak disebut saintis dan ada kalanya mereka layak disebut insinyur, bahkan pada saat yang sama mereka bertindak sebagai saintis yang insinyur dan insinyur yang saintis. Sejarah pengetahuan mengajarkan kita bahwa pada hakikatnya tidak ada dikotomi untuk kedua profesi itu. Lalu sekarang bagaimana?

Sekarang beda lho! Saintis ya saintis dan insinyur ya insinyur. Yang saya maksud dengan saintis adalah gelar akademik Sarjana Sains (S.Si.) sedangkan yang saya maksud dengan insinyur adalah gelar akademik Sarjana Teknik (S.T.). Dari kulitnya saja sudah beda apalagi isinya, demikian para intelektual mulai berargumen. Sekolahnya saja beda, yang satu dari Fakultas Sains atau Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan yang satu dari Fakultas Teknik (FT). Saintis dan insinyur beda! Itu realitas yang terbentuk di zaman ini, tidak ada yang berani menyangkalnya. Saintis tetap menjadi dirinya dan insinyur tetap menjadi dirinya. Masing-masing profesi mencari celah agar dirinya mandiri, memiliki entitas tersendiri dan kalau bisa, stratanya lebih dipandang elegan dan ekslusif dari yang lain.

Saya juga melihat bahwa hari ini saintis dan insinyur telah “dikecilkan” oleh definisi sempit yang dibuat-buat , katanya mengikuti perkembangan filsafat ilmu. Sekarang seorang dokter dan seorang guru kini tidak lagi disebut sebagai saintis atau insinyur, meskipun pada hakikatnya mereka juga bertindak sebagai halnya saintis dan insinyur pada beberapa kesempatan tertentu. Kecuali oleh para pakar filsafat kuno yang mendukung bahwa saintis dan insinyur adalah integral, lalu terdiferensiasi oleh keadaan sesaat (tidak kekal) menjadi banyak ragam penyebutan, dimana orang menyebutnya sebagai profesi. Makna hakiki yang lurus adalah dokter sebagai saintis dan juga insinyur di dalam bidang pengobatan/kesehatan, guru sebagai saintis dan sekaligus insinyur di dalam bidang pendidikan dan pembangunan kepribadian. Begitulah seharusnya, ini menurut filsafat kuno yang saya sepakati. Saya sepakat!

Di sini saya menyebut saintis dan insinyur sebagai suatu profesi meskipun tidak dianggap sebagai profesi resmi di Indonesia seperti halnya profesi dokter dan profesi apoteker. Dimana letak perbedaan signifikan antara profesi saintis dan profesi insinyur? Bila sulit menemukan perbedaan, maka marilah mulai dengan persamaan. Bila sulit menemukan persamaan, maka mulai dengan yang sebaliknya yakni perbedaan. Kira-kira mana yang lebih mudah, mencari perbedaan atau mencari persamaan?  Ah, biarlah tulisan ini mengalir tanpa harus berpikir keras tentang mana yang mudah atau sulit, mana yang didahulukan, beda atau sama.

Secara filosofis, kedua profesi itu dianggap beda karena saintis dianggap kompeten dalam hal mengungkap, menemukan, merumuskan, mengembangkan pemecahan suatu masalah dan yang satu sibuk mengaplikasikan, merekayasa, mengoptimalkan pemecahan suatu masalah. Saya sadar, amat sulit bagi kita untuk menyekatnya. Saintis lebih dekat dengan sebutan ilmuwan, sementara insinyur lebih dekat dengan sebutan perekayasa atau teknisi. Lalu bagaimana dengan sebutan PENELITI? Peneliti itu sebenarnya bisa diperankan oleh saintis dan insinyur, hanya saja karena keterbatasan pemahaman kita lebih sering mendekatkan sebutan peneliti bagi saintis saja, sementara insinyur seakan direndahkan dengan menyebutnya sebagai teknisi. Saya tidak mengerti pembentukan opini itu ulah siapa.

Ada anggapan yang salah bahwa lulusan FMIPA (Sains) adalah yang paling layak menjadi peneliti, ketika tidak berhasil atau gagal menjadi peneliti maka ujung-ujungnya akan mengabdi menjadi guru. Sedangkan lulusan FT (Teknik) dianggap sebagai orang yang layak menjadi  karyawan industri dan kalaupun gagal akan menjadi seorang konsultan. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, mungkin ada contohnya di masyarakat sehingga berani memberikan kesimpulan seperti itu. Nanum tidak juga sepenuhnya benar, mengapa? Lulusan FMIPA banyak yang bekerja di dunia proses industri dan lulusan FT banyak yang menjadi peneliti ilmu sains, bahkan bekerja di laboratorium sains.

Banyak orang menganggap bahwa ruang lingkup pekerjaan saintis lebih kecil dari pada ruang lingkup pekerjaan insinyur. Ini pernyataan yang sedikit mengerutkan kening dan memancing senyum tipis. Maksud saya, itu pernyataan mengherankan. Saya tekankan bahwa keduaya tidak di batasi dalam hal ruang lingkup kerja. Ada kalanya insinyur berada di dalam ruangan kecil 2 x 2 meter dan ada kalanya saintis menelusuri ruang angkasa.

Suatu pertanyaan sederhana, bolehkah saintis dan insinyur saling menggatikan? Kalau di negeri ini masih boleh sebab tidak ada peraturan detil yang mngaturnya. Saya tidak tahu di luar negeri. Dalam banyak kesempatan di dunia kerja, saintis dan insinyur ternyata sangat sering menggantikan. Lalu apa yang melarang? Saya tidak melihat ada undang-undang atau peraturan yang mengatur hal ini sedemikian rupa. Kapan saintis dan insinyur dapat saling menggantikan? Apabila keduanya bekerja sama untuk memecahkan permasalahan yang sama dalam satu tempat. Kompetensi tiap bidang ilmu seperti saintis dan insinyur adalah unik, di balik keunikan itu ada hal yang saling melengkapi. Bila saintis mampu mendalami keunikan insinyur maka ia layak menjadi saintis yang insinyur. Sebaliknya jika insinyur menguasai keunikan saintis maka ia layak menjadi insinyur yang saintis.

Sejarah telah memberikan bukti yang kuat bagi kita. Baca saja kisah seorang Claude Shannon (1916 – 2001), seorang saintis matematika yang juga insinyur elektro berhasil meletakkan dasar-dasar teknologi informasi, sehingga ia disebut sebagai Insinyur Teoritis. Shannon telah menjadi insinyur yang saintis dan saintis yang insinyur. Lalu seorang Peter Debye (1884 - 1966), seorang insinyur elektro di bawah bimbingan saintis fisika mampu memenangkan hadiah nobel bidang kimia fisika. Debye juga layak disebut sebagai insinyur yang saintis dan saintis yang insinyur. Bukti-bukti seperti ini telah banyak dicontohkan oleh para ilmuwan kita, sehingga kita tidak perlu ragu lagi bahwa saintis dan insinyur harus beda jauh dan tersekat. Saya melihat bahwa di dalam diri kedua pahlawan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, Shannon dan Debye, telah menyatu dua profesi, saintis dan insinyur.

Pertanyaan: Bagaimana dengan kita?

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Tolong bantu sebarkan ya, mungkin banyak di antara kita yang belum tahu. salam Indonesia jaya,

Sumber : http://ngada.org/uu11-2014.htm

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2014
TENTANG
KEINSINYURAN

BAB V
PROGRAM PROFESI INSINYUR

Pasal 7
(1)Untuk memperoleh gelar profesi Insinyur, seseorang harus lulus dari Program Profesi Insinyur.
(2)Syarat untuk dapat mengikuti Program Profesi Insinyur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik, baik lulusan perguruan tinggi dalam negeri maupun perguruan tinggi luar negeri yang telah disetarakan; atau
b.sarjana pendidikan bidang teknik atau sarjana bidang sains yang disetarakan dengan sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik melalui program penyetaraan.
(3)Program Profesi Insinyur dapat diselenggarakan melalui mekanisme rekognisi pembelajaran lampau.

Pasal 8
(1)Program Profesi Insinyur diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan kementerian terkait, PII, dan kalangan industri dengan mengikuti standar Program Profesi Insinyur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4).
(2)Seseorang yang telah memenuhi standar Program Profesi Insinyur, baik melalui program profesi maupun melalui mekanisme rekognisi pembelajaran lampau, serta lulus Program Profesi Insinyur berhak mendapatkan sertifikat profesi Insinyur dan dicatat oleh PII.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Profesi Insinyur diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 9
(1)Gelar profesi Insinyur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) disingkat dengan Ir. dan dicantumkan di depan nama yang berhak menyandangnya.
(2)Gelar profesi Insinyur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh perguruan tinggi penyelenggara Program Profesi Insinyur yang bekerja sama dengan kementerian terkait dan PII.

JHD Musa (jehademusa) mengatakan...

@Mas Ricko

Terima kasih atas informasinya. Semoga bermonfaat bagi pembaca blog ini.

8 Tulisan Populer Pekan Ini