Saya memiliki minat tinggi terhadap ilmu kimia
terutama dalam bidang yang berkaitan dengan biokimia dan lingkungan. Mempelajari
biokimia telah memberikan kepuasan tersendiri pada diri saya setelah gagal
menjadi mahasiswa kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS). Mempelajari ilmu
lingkungan adalah kewajiban kita sebagai umat beragama. Hubungan yang perlu
dijaga di dalam Islam adalah hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama
makhluk. Artinya, ketika mempelajari ilmu lingkungan seakan telah berupaya
untuk menjalin hubungan baik dengan lingkungan itu sendiri.
Saya juga senang dengan ilmu kimia analitiik,
karena sudah tentu bahwa ia adalah senjata bagi orang kimia di seantero jagad.
Ilmu kimia analitik, menurut saya, bukanlah ilmu yang harus terpisah dari empat
bidang keahlian di dalam kimia (biokimia, kimia organik, kimia anorganik, dan
kimia fisik). Kimia analitik adalah “bahasa” ilmu kimia sekaligus sebagai “matematika”
dari ilmu kimia itu sendiri. Tanpa ilmu kimia analitik, siapapun yang
memperlajari kimia akan buta. Ilmu kimia analitik adalah alat untuk memilah dan
memilih, menentukan dan mengukur, menginformasikan dan menyatakan tentang suatu
materi kimia.
Perguruan tinggi ilmu kimia yang terdapat di
Fakultas MIPA (Fakultas Sains) menghasilkan lulusan saintis kimia (Sarjana
Sains bidang Kimia), pendidikan akademik ini dapat ditempuh selama 8 semester.
Ada juga yang berhasil menyelesaikannya secara cepat dalam 7 semester dan ada yang
menempuhnya selama 14 semester. Saya, alhamdulillah, menyelesaikan pendidikan
di FMIPA Kimia selama kurang lebih 9 semester (4 tahun 5 bulan) dengan predikat
sangat rendah (hanya “memuaskan”) lantaran harus membawa pulang dua nilai D.
Bila tanpa nilai D, pasti predikat saya “sangat memuaskan”. Dua nilai D yang
saya miliki adalah dari praktikum mata kuliah Kimia Material (1 SKS) dan mata kuliah Kimia Organik Bahan Alam (3 SKS). Saya memiliki alasan mengapa
memperoleh nilai D; pada mata kuliah pertama karena saya tidak suka dengan diktatorisme
di laboratorium dan pada mata kuliah kedua karena saya tidak ingin menghafal
reaksi-reaksi biosintesis kimia di luar kepala atau mungkin karena saya telah
komitmen untuk tidak menggunakan ‘jimat’ di saat ujian. Baiklah, saatnya
melupakan masa lalu suram itu. Semoga setiap keadaan memberikan pelajaran bagi
saya pribadi.
Tentang diktatorisme laboratorium dan ilmu
jimat, lain kali kita cerita-cerita detil ya. Sekarang cuma mau komentar saja
bahwa diktatorisme yang ada di lab semisal pemaksaan kehendak asisten lab
terhadap para praktikan adalah salah satu upaya pelemahan bagi dunia pendidikan
kimiawan. Mengapa? Karena kimiawan itu harus dididik untuk memiliki
keterampilana berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill), nah salah
satunya adalah dengan memberikan kebebasan berkreatifitas di dalam melakukan
pekerjaan-pekerjaan lab. Selama pekerjaan lab yang dilakukan itu tidak
substansial dan ada dampak signifikannya, maka selama itu pula tidak perlu
prosedur baku. Contoh, laporan praktikum harus begini begono, tanpa dasar yang
jelas dan kuat. Mau tulis tangan, mau ketik komputer, mau ketik pakai mesin tik
itu seharusnya dibebaskan. Hanya asisten yang memiliki low order thinking skill
saja yang menjalankan diktatorisme semacam itu. Memang, hal ini telah menjadi
perdebatan bertahun-tahun. Namun saya punya argumentasi ilmiah dan jelas untuk
membantah diktatorisme di lab tersebut. Apalagi, atas karunia Allah, ternyata diberi kesempatan melajunjutkan kuliah di jenjang S2 pendidikan sains, terutama di dalam bidang pendidikan kimia. Wawasan saya semakin terbuka tentang bagaimana cara terbaik membelajarkan kimia kepada peserta didik. Diktatorisme, bukan pilihan!
Ohya, saya jadi hampir lupa untuk melanjutkan
tulisan ini. Selama 9 semester, saya memang sibuk berorganisasi “tak karuan”.
Lebih banyak waktu untuk bersenang-senang dari pada waktu bersusah-susah. Bila
ada sedikit saja hal yang rumit atau susah, langsung saja saya tinggalkan dan
say goodbye, abaikan. Tabiat inilah yang pada akhirnya membawa masalah juga
pada diri saya sendiri. Ah, tiada guna sesal. Mengabaikan instruksi asisten lab
adalah pekerjaan rutin saya sehari-hari, atau dalam keadaan tertentu melakukan
negosiasi dan lobi dengan asisten lab agar diizinkan ikut praktikum. Padahal
karena terlalu malas, saya sebenarnya malas membuat laporan praktikum. Apalagi
laporan akhir.
Semester 1 di kampus kimia bisa dikatakan bahwa
saya adalah mahasiswa IP tertinggi di angkatan saat itu. IP saya mendekati
angka tiga koma delapan, diperoleh dengan murni tanpa pernah mencontek atau
pakai jimat. Akan tetapi kemudian pada semester 2 dan berikutnya, secara bertahap
menurun hingga pada nilai tertentu, eh tidak perlu disebutkan di sini.
Pokoknya, alhamdulillah ya, sudah bisa lulus, dah!
Pada semester 1 dan 2, mahasiswa kimia disibukkan
dengan ilmu-ilmu dasar seperti matematika, kimia, fisika, ilmu lingkungan,
bahasa Inggris, dan etika kimia. Mata kuliah etika adalah mata kuliah yang
paling tidak nyambung saat itu, kenapa? Profesor yang membahasnya tidak terlalu
dalam membahas tentang persoalan-persoalan filsafat sains pada bab etika dan “kode
etik” kimiawan. Malah saya lihat presentasi lebih banyak kepada etika secara
umum saja, yang paling sering terdengar adalah kajian kristologi. Nah lho!?
Barulah pada semester 3 – 6, mahasiswa kimia
memperoleh banyak pendalaman tentang materi ilmu kimia. Bahkan sejak semester 5
sudah mulai diizinkan untuk mengambil mata kuliah tertentu sesuai dengan minat
mahasiswa. Di kampus saya, ada 5 bidang keahlian kimia yang ditawarkan yakni:
Biokimia, Kimia Organik, Kimia Analitik, Kimia Anorganik, dan Kimia Fisika.
Setiap bidang diasuh oleh tim dosen yang memang fokus ilmu dan penelitiannya ke
bidang kimia spesifik. Kita sebut saja, Prof. Admin Alif, beliau profesor di
bidang kimia fisika, Prof. Syukrie Arief di bidang kimia anorganik, Prof.
Sumaryati Syukur di bidang biokimia/bioteknologi, Prof. Sanusi Ibrahim di
bidang kimia organik, Prof. Hamzar Suyani di bidang kimia analitik. Jumlah
profesor di jurusan kimia tempat saya belajar adalah termasuk jurusan kimia yang
terbanyak profesornya di Indonesia.
Berikut ini saya tulis beberapa mata kuliah
yang menjadi pilihan atau minat saya. Mata kuliah ini bukan waktu kuliah wajib
melainkan mata kuliah yang bersifat pilihan, saya ambil di semester 5 – 7.
Sebenarnya ada 10 mata kuliah pilihan yang saya ambil, tetapi yang saya ajukan
untuk dicatat di dalam transkrip akademik hanya 8 mata kuliah saja. Selebihnya
disimpan sebagai ilmu saja. 10 mata kuliah pilihan itu adalah:
1. Cara-cara Analitik Khusus (Chemical Analytical
Methods for Special Purpose)
2. Teknik Penelitian Biokimia (Methodology of
Biochemistry and Biotechnology Research)
3. Kimia Lingkungan (Environmental Chemistry)
4. Kapita Selekta Biomolekuler (Spesialisasi
Bioinformatika / Bioinformatics)
5. Teknologi Bahan Makanan (Chemistry of Food
Technology)
6. Teknologi Fermentasi (Technology of
Fermentation)
7. Toksikologi Bahan Makanan (Chemistry of Food
Toxicology)
8. Mikrobiologi Industri (Industrial Microbiology)
9. Elektrokimia Industri (Industrial Electrochemistry)
10. Mineralogi (Chemical Mineralogy)
Penjelasan tentang masing-masing kuliah, insyaAllah
pada postingan akan datang. Demikian cerita saya, semoga bermanfaat dan
menginspirasi para pembaca. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar