Di dalam Islam, persoalan makanan dan materi
apapun yang dikonsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung adalah salah
satu hal yang sangat penting dan diatur secara ketat. Allah menyebut syaratnya
di dalam Al-Qur’an sebagai HALAL dan THAYYIB. Secara bahasa dapat kita artikan
langsung yakni halal = boleh dan thayyib = baik. Tidak selesai pada pengertian
itu, kita lanjutkan dengan definisi yang dijabarkan dalam Al-Qur’an dan Al
Hadits, bagaimanakan ciri yang halal dan bagaimanakah ciri yang baik.
Mudah-mudahan di suatu waktu dapat saya jelaskan dengan lebih baik (Jika Allah
menghendaki, insyaAllah).
Pada kesempatan ini saya hanya menyinggung
persoalan “makanan baik”, bukan dari sudut pandang halal melainkan bagaimana
kebaikan dari makanan atau materi itu sendiri bagi diri konsumen. Perbedaan
antara makanan halal dan makanan baik terletak pada bagaimana melakukan kajian
dan menguraikan aspek-aspek yang berhubungan dengan halal dan aspek-aspek yang
berhubungan dengan baik. Antara halal dan baik tidak ada pertentangan, keduanya
saling melengkapi untuk menggenapi paripurnanya sifat makanan atau suatu
materi.
Boleh jadi suatu materi dihalalkan (dibolehkan
secara syariat) akan tetapi sifatnya tidak baik, contohnya apa? Daging sapi
yang disembelih dan diolah dengan cara-cara Islam inyaAllah halal, tetapi bila
dimakan secara berlebihan oleh orang yang hipertensi bagaimana? Apakah
memakannya mengandung kebaikan bagi dirinya? Tentu tidak. Susu yang dibiarkan
beberapa jam di atas meja, boleh jadi masih halal namun karena proses alami
membuatnya tidak lagi steril karena terkontaminasi mikroba atau mengalami
reaksi tertentu akibat pengaruh fisika sehingga sifat awal susunya dari baik
menjadi tidak baik.
Di dalam pelajaran kimia, khususnya ilmu kimia
bahan makanan atau kadang disebut dengan imu kimia pangan. Sewaktu kuliah dulu,
saya pernah mengambil mata kuliah pilihan berhubungan yakni teknologi bahan
makanan (dilihat dari tinjauan kimianya). Setelah mengambil kuliah tersebut
dari Ibu Armaini, M.S., lalu saya saya melanjutkannya dengan mengambil kuliah
Toksikologi Pangan dengan Prof. Hazli Nurdin, alhamdulillah saya sedikit banyak
mengetahui tentang teknologi makanan dan racun makanan. Selain itu sejak kecil
saya memang senang dengan kajian-kajian makanan. Setiap berkunjung ke
perpusatakaan, bila melihat buku-buku berhubungan dengan pengolahan makanan da
kandungan gizinya, langsung saya dekati.
Suatu makanan dikatakan baik jika tidak
mengandung racun (toksik), meskipun itu halal. Kalau rokok mah dua-duanya kena,
tidak halal dan tidak baik. Bagi para saudara perokok yang tercinta, terus
terang saya benci Anda! Makanan beracun tidak hanya dari kualitas berupa sifat
kimia atau sifat fisikanya saja, dilihat dari kuantitasnya juga dapat menjadi
faktor penentu. Ambil contoh air minum. Air minum layak konsumsi itu halal,
tapi kalau diminum dalam kuantitas berlebih misalnya minum sampai tiga ember,
bagaimana? Bisa jadi membahayakan dan mematikan peminumnya. Itulah sebabnya
makanan (termasuk minuman) perlu ada takarannya, jangan sembarang masuk. Bila
takarannya berlebih, meskipun halal maka bisa menjadi racun (tidak
thayyib/tidak baik).
Kebaikan suatu makanan harus tetap diperhatikan
di samping sisi kehalalannya. Manfaat, semisal gizi yang terkandung di
dalamnya, adalah hal yang prioritas menjadi pertimbangan ketika memilih
mengonsumsi suatu makanan tertentu. Jangan atas dasar selera dan gengsi saja, lalu memilih makanan
tertentu tanpa pertimbangan kebaikan bagi tubuh. Ini sama saja dengan melanggar
pesan Allah agar kita hanya mengonsumsi makanan yang halal juga baik.
Singkat cerita, saya ingin menegaskan bahwa memang
banyak makanan halal tapi tidak semuanya baik untuk kita, tidak semua cocok
atau sesuai dengan kebutuhan kita. Jadi, makanlah makanan yang tidak hanya
halal saja tetapi juga baik. Ok?! Sip, terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar