Marilah menundukkan hati seraya
merenung dengan kesadaran yang tinggi bahwa Adam sebagai manusia pertama tak
pernah menyebut dirinya saintis
atau insinyur, meskipun secara langsung dan istimewa ia diajari oleh Tuhan
tentang nama segala benda dan keadaan.
Marilah kita sadar bahwa hari ini perguruan tinggi di
Indonesia tidak ada yang
mencetak profesi insinyur! Kalaupun
pernah ada sebelum tahun 1993, itu juga tidak disebut profesi. Kalaupun
ada yang mash ingin
membelanya, keberadaaannya hanya diakui sebatas gelar akademik Sarjana Teknik (ST). Bedakah antara gelar profesi dengan gelar akademik?
Ya, tentu saja. Analoginya di dunia kedokteran, Sarjana Teknik itu sama dengan
Sarjana Kedokteran. Itu adalah gelar akademik keduanya, bukan gelar profesi. Bila ingin menjadi insinyur,
sebaiknya ada pendidikan profesi khusus bagi lulusan Fakultas Teknik untuk
meraih gelar insinyur (Ir.), seperti halnya dokter yang wajib menjalani pendidikan profes dokter
untuk meraih gelar dokter (dr.).
Marilah kita sepakati bahwa hari ini perguruan
tinggi di Indonesia juga tidak ada yang betul-betul serius mencetak saintis.
Kalaupun ada Sarjana Sains (S.Si.) itu
juga gelar akademik. Bahkan pertimbangan untuk menyebutnya sebagai sebuah
profesi jarang sekali dilontarkan oleh banyak orang. Bagi saya pribadi, para Sarjana Sains
(apalagi yang baru lulus) adalah Saintis ‘muda’ saja belum layak dianggap sebagai suatu profesi spesifik. Saya tidak tahu
dengan orang lain, pengalaman pribadi membuktikan bahwa setelah saya lulus dari
perguruan tinggi SAINS ternyata saya belum bisa banyak berbuat untuk
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Profesi saintis seharusnya dapat
diajukan sebagai salah satu profesi setelah lulus dari Fakultas Sains. Dengan
demikian eksplorasi sains lebih terkelola dengan baik dan dilakukan oleh
orang-orang terdidik dan
profesional di bidang tersebut. Ini juga penting untuk menghindari
kemajuan ilmu pengetahuan yang membahayakan bagi kehidupan manusia. Sebab di setiap profesi ada kode
etik yang perlu dijaga dan ditaati.
Kalau kita membaca sejarah,
banyak sekali para
penemu ilmu pengetahuan dan teknologi tidak pernah mendeklarasikan dirinya
sebagai saintis ataupun sebagai insinyur. Tidak ada pengakuan yang jelas dari
diri mereka sendiri apakah mereka sebagai saintis atau sebagai insinyur. Yang
penting bagi mereka adalah bekerja keras dan bekerja tekun dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
kebaikan manusia. Ada kalanya mereka layak disebut saintis dan ada kalanya
mereka layak disebut insinyur, bahkan pada saat yang sama mereka bertindak
sebagai saintis yang insinyur dan insinyur yang saintis. Sejarah pengetahuan
mengajarkan kita bahwa pada hakikatnya tidak ada dikotomi untuk kedua profesi
itu. Lalu sekarang bagaimana?
Sekarang beda lho! Saintis ya saintis dan insinyur ya
insinyur. Yang saya maksud
dengan saintis adalah gelar akademik Sarjana Sains (S.Si.) sedangkan yang saya
maksud dengan insinyur adalah gelar akademik Sarjana Teknik (S.T.). Dari
kulitnya saja sudah beda apalagi isinya, demikian para intelektual mulai
berargumen. Sekolahnya saja beda, yang satu dari Fakultas Sains atau Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA) dan yang satu dari Fakultas Teknik (FT). Saintis dan insinyur beda! Itu
realitas yang terbentuk
di zaman ini, tidak ada yang berani menyangkalnya. Saintis tetap menjadi
dirinya dan insinyur tetap menjadi dirinya. Masing-masing “profesi” mencari celah agar dirinya mandiri,
memiliki entitas tersendiri dan kalau bisa, stratanya lebih dipandang elegan dan
ekslusif dari yang lain.
Saya juga melihat bahwa hari ini
saintis dan insinyur telah “dikecilkan” oleh definisi sempit yang dibuat-buat ,
katanya mengikuti perkembangan filsafat ilmu. Sekarang seorang dokter dan seorang guru
kini tidak lagi disebut sebagai saintis atau insinyur, meskipun pada hakikatnya mereka juga bertindak
sebagai halnya saintis dan insinyur pada beberapa kesempatan tertentu. Kecuali
oleh para pakar filsafat kuno yang mendukung bahwa saintis dan insinyur adalah
integral, lalu terdiferensiasi oleh keadaan sesaat (tidak kekal) menjadi banyak
ragam penyebutan, dimana orang menyebutnya sebagai profesi. Makna hakiki yang lurus adalah dokter sebagai saintis dan juga
insinyur di dalam bidang pengobatan/kesehatan, guru sebagai saintis
dan sekaligus insinyur di dalam bidang pendidikan dan pembangunan kepribadian.
Begitulah seharusnya, ini menurut filsafat kuno yang saya sepakati. Saya sepakat!
Di sini saya menyebut saintis dan
insinyur sebagai suatu profesi meskipun tidak dianggap sebagai profesi resmi di
Indonesia seperti halnya profesi dokter dan profesi apoteker. Dimana letak
perbedaan signifikan antara profesi saintis dan profesi insinyur? Bila sulit
menemukan perbedaan, maka marilah mulai dengan persamaan. Bila sulit menemukan
persamaan, maka mulai dengan yang
sebaliknya yakni perbedaan. Kira-kira mana yang lebih mudah, mencari
perbedaan atau mencari persamaan? Ah,
biarlah tulisan ini mengalir tanpa harus berpikir keras tentang mana yang mudah
atau sulit, mana yang didahulukan, beda atau sama.
Secara filosofis, kedua profesi itu dianggap beda karena saintis dianggap kompeten dalam hal mengungkap,
menemukan, merumuskan, mengembangkan pemecahan suatu masalah dan yang satu sibuk mengaplikasikan,
merekayasa, mengoptimalkan
pemecahan suatu masalah. Saya sadar, amat sulit bagi kita untuk
menyekatnya. Saintis lebih dekat dengan sebutan ilmuwan, sementara insinyur
lebih dekat dengan sebutan perekayasa atau teknisi. Lalu bagaimana dengan
sebutan PENELITI? Peneliti itu sebenarnya bisa diperankan oleh saintis dan
insinyur, hanya saja karena keterbatasan pemahaman kita lebih sering
mendekatkan sebutan peneliti bagi saintis saja, sementara insinyur seakan “direndahkan” dengan menyebutnya sebagai teknisi. Saya tidak mengerti pembentukan
opini itu ulah siapa.
Ada anggapan yang salah bahwa
lulusan FMIPA (Sains) adalah
yang paling layak menjadi peneliti, ketika tidak berhasil atau gagal menjadi
peneliti maka ujung-ujungnya akan mengabdi menjadi guru. Sedangkan lulusan FT (Teknik) dianggap sebagai
orang yang layak menjadi karyawan
industri dan kalaupun gagal akan menjadi seorang konsultan. Anggapan ini tidak
sepenuhnya salah, mungkin ada contohnya di masyarakat sehingga berani
memberikan kesimpulan seperti itu. Nanum tidak juga sepenuhnya benar, mengapa?
Lulusan FMIPA banyak yang bekerja di dunia proses industri dan lulusan FT banyak yang menjadi peneliti ilmu
sains, bahkan bekerja di laboratorium sains.
Banyak orang menganggap bahwa ruang lingkup
pekerjaan saintis lebih
kecil dari pada ruang lingkup pekerjaan insinyur. Ini pernyataan yang sedikit
mengerutkan kening dan memancing senyum tipis. Maksud saya, itu pernyataan
mengherankan. Saya tekankan bahwa keduaya tidak di batasi dalam hal ruang
lingkup kerja. Ada kalanya insinyur berada di dalam ruangan kecil 2 x 2 meter dan
ada kalanya saintis menelusuri ruang angkasa.
Suatu pertanyaan sederhana, bolehkah saintis dan insinyur saling
menggatikan? Kalau di negeri
ini masih boleh sebab tidak ada peraturan detil yang mngaturnya. Saya tidak
tahu di luar negeri. Dalam banyak kesempatan di dunia kerja, saintis dan
insinyur ternyata sangat sering menggantikan. Lalu apa yang melarang? Saya tidak melihat ada
undang-undang atau peraturan yang
mengatur hal ini sedemikian
rupa. Kapan saintis dan
insinyur dapat saling menggantikan? Apabila keduanya bekerja sama untuk memecahkan permasalahan yang sama
dalam satu tempat. Kompetensi tiap bidang ilmu seperti saintis dan insinyur
adalah unik, di balik keunikan itu ada hal yang saling melengkapi. Bila saintis
mampu mendalami keunikan insinyur maka ia layak menjadi saintis yang insinyur.
Sebaliknya jika insinyur menguasai keunikan saintis maka ia layak menjadi
insinyur yang saintis.
Sejarah telah memberikan bukti yang kuat bagi kita.
Baca saja kisah seorang Claude Shannon (1916 – 2001), seorang saintis
matematika yang juga insinyur elektro berhasil meletakkan dasar-dasar teknologi
informasi, sehingga ia disebut sebagai Insinyur Teoritis. Shannon telah menjadi insinyur yang saintis
dan saintis yang insinyur. Lalu seorang Peter Debye (1884 - 1966),
seorang insinyur elektro di bawah bimbingan saintis fisika mampu memenangkan
hadiah nobel bidang kimia fisika. Debye juga layak disebut sebagai insinyur yang saintis dan saintis yang
insinyur. Bukti-bukti seperti ini telah banyak dicontohkan oleh para ilmuwan
kita, sehingga kita tidak perlu ragu lagi bahwa saintis dan insinyur harus beda
jauh dan tersekat. Saya melihat bahwa di dalam diri kedua pahlawan ilmu pengetahuan dan teknologi
itu, Shannon dan Debye, telah menyatu dua profesi, saintis dan insinyur.
Pertanyaan: Bagaimana dengan kita?
2 komentar:
Tolong bantu sebarkan ya, mungkin banyak di antara kita yang belum tahu. salam Indonesia jaya,
Sumber : http://ngada.org/uu11-2014.htm
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2014
TENTANG
KEINSINYURAN
BAB V
PROGRAM PROFESI INSINYUR
Pasal 7
(1)Untuk memperoleh gelar profesi Insinyur, seseorang harus lulus dari Program Profesi Insinyur.
(2)Syarat untuk dapat mengikuti Program Profesi Insinyur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik, baik lulusan perguruan tinggi dalam negeri maupun perguruan tinggi luar negeri yang telah disetarakan; atau
b.sarjana pendidikan bidang teknik atau sarjana bidang sains yang disetarakan dengan sarjana bidang teknik atau sarjana terapan bidang teknik melalui program penyetaraan.
(3)Program Profesi Insinyur dapat diselenggarakan melalui mekanisme rekognisi pembelajaran lampau.
Pasal 8
(1)Program Profesi Insinyur diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan kementerian terkait, PII, dan kalangan industri dengan mengikuti standar Program Profesi Insinyur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4).
(2)Seseorang yang telah memenuhi standar Program Profesi Insinyur, baik melalui program profesi maupun melalui mekanisme rekognisi pembelajaran lampau, serta lulus Program Profesi Insinyur berhak mendapatkan sertifikat profesi Insinyur dan dicatat oleh PII.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Profesi Insinyur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
(1)Gelar profesi Insinyur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) disingkat dengan Ir. dan dicantumkan di depan nama yang berhak menyandangnya.
(2)Gelar profesi Insinyur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh perguruan tinggi penyelenggara Program Profesi Insinyur yang bekerja sama dengan kementerian terkait dan PII.
@Mas Ricko
Terima kasih atas informasinya. Semoga bermonfaat bagi pembaca blog ini.
Posting Komentar