Terus terang, saya ini adalah orang
yang anti rokok. Jika saya anti rokok maka secara otomatis juga kurang senang
berdekatan dengan para perokok. Ulama sudah melarang. Pakar kesehatan juga
sudah melarang. Trus apa lagi yang harus diyakini selain itu? Hal yang paling
saya benci adalah seorang perokok yang merokok di dekat anak-anak. Ini adalah
hal tergila di hadapan mata saya dan biasanya bila melihat kondisi ini saya
harus buru-buru meninggalkan lokasi itu.
Beberapa hari yang lalu saya makan
pecel lele di Kota Jambi. Sedang asyik makan, tiba-tiba datanglah rombongan
keluarga membawa anak. Ayah, Ibu, dan Balita. Si Ayah dengan santainya merokok
di dekat saya karena mereka duduk persis di sebelah meja saya makan. Saya
sesekali memperhatikan keluarga “ndeso” ini dengan perasaan pilu. Maaf, saya
sebut mereka ndeso karena Ayah si anak ini merokok persis di hadapan BALITAnya.
Saya lalu bertanya dalam hati, kemana otaknya Pak? Bapak mungkin tidak tahu
berapa banyak racun di dalam asap rokok yang Bapak kepulkan di udara bebas itu.
Lalu paru-paru mungil anakmu dipaksa menampung asap itu.
Ini cerita yang lain lagi. Akhir
pekan lalu saya dari Jakarta ke Jambi menggunakan pesawat Citilink menggunakan
jasa bandara Soetta, sebuah bandara internasional terbesar di tanah air,
bandara kebanggan Republik Indonesia. Sebelum diperintah naik pesawat, saya
menunggu di terminal 1C, tepatnya di Gate 3 walaupun kemudian dipaksa mengungsi
oleh Citilink di Gate 5. Sambil menunggu boarding, saya merapikan bagian dalam
isi tas yang nantinya saya letakkan di bagasi kabin pesawat, tiba-tiba ujung
jari saya terluka oleh benda tajam di bagian dalam tas yang tak lain adalah
sisi sampul yang keras dari buku block notes, ternyata tajam juga yak. Dan
terjadilah pendarahan kecil di bagian bawah kuku saya. Kemudian saya berjalan menuju
petugas Citilink (saya tidak tahu apa nama profesi spesifiknya, tapi semacam
resepsionis yang duduk di setiap Gate). Saya tanya apakah ada Kotak P3K di
sini? Jari saya luka, bolehkah saya minta obat P3K? Sambil tersenyum,
resepsionisnya menjawab maaf tidak ada pak.
Saya hanya membatin, bukankah ini
bandara internasional, mengapa di tempat seperti ini tidak disediakan kotak
P3K? Saya yang sehari-harinya bergelut di dunia K3, merasa heran saja apabila
sebuah bandara internasional tidak menyediakan kotak P3K. Resiko yang ada di
ruang tunggu itu antara lain: Jatuh terpeleset oleh licinnya lantai, resiko
terjepit oleh kursi-kursi tunggu, terjepit tas, terkena pecahan kaca, dan
sebagainya. Semuanya berpotensi luka memar hingga berdarah. Suatu hal yang
mustahil jika di lokasi tersebut tidak disediakan sarana pertologan pertama
pada kecelakaan. Inilah Indonesia, bandara internasional yang belum layak
disebut bandara internasional. Ini baru hal “kecil” yang menurut kacamata saya,
bandara ini tidak layak disebut bandara internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar