Sedikit ekstrim bahkan sangat ekstrim. Pacaran = Zina. Ya, seharusnya eskrim agar orang banyak suka, dakwah dikemas dengan bahasa santun tak memvonis, eskrim banyak suka, tanpa menyinggung sana sini. Tapi eskrim saat ini tak laku, apalagi di saat hujan atau kehujanan. Musim hujan itu dingin, eskrim yang dingin tak laku lagi. Lalu zina yang mana lagi yang perlu ditafsirkan secara modern, tak lain dan tak bukan, yang pasti pasti sajalah, ia adalah pacaran. Hingar bingar kemajuan yang tak bernilai, adalah suatu ‘kebutuhan’ para pemuda-pemudi kita saat ini. Tak ayal banyak orang tua menginginkan kegilaan yang semacam itu untuk putra-putri mereka, konon, para ortu bermasalah alias ‘broken parent’ menganggapnya sebagai suatu kelumrahan, strip kewajaran.
Baru-baru ini, sambil menunggu adik saya mengatasi ‘beberapa permasalahan’ dan ‘proses pengurusan pendaftaran ulangnya’ di Program Studi Sistem Komputer pilihan hatinya di sebuah Universitas Terkemuka Sumbar, terdengar perbincangan santai dan hangat antara beberapa mahasiswi dengan seorang Ibu pemilik usaha fotokopi di kampus tersebut, sebut saja namanya buk pat. Dalam perbincangan itu, si ibu sedang bersemangat menggunjing tetangganya yang sangat keras membimbing putrinya “TIDAK BOLEH PACARAN”, tanpa tawar menawar. Walhasil menurut pengamatan buk pat, si putri yang terjaga oleh ortunya dari arus pacaran, sampai saat ini belum juga dapat jodoh. Ortunya pontang panting mencari jodoh, banyak warga sekitar rumah yang mencibir : “nah itulah, masak anak gak boleh pacaran, rasain akibatnya, sulit dapat jodoh”. Itulah kesimpulan sementara sebelum saya unjuk bicara menengahi kasus hangat siang itu.
Lalu, secara psikis dan fisik saya mencoba masuk areal perbincangan tanpa memasuki areal gosip dan pergunjingan... Dengan beberapa peluru saya lontarkan sebagai bantahan bahwa jodoh bukan karena pacaran. Jodoh adalah urusan Tuhan. Jika cerita buk pat sebagai fakta yang mendukung kesimpulan maka saya juga punya cerita lain yang berbeda, sekaligus sebagai kontra kejadian itu. Sungguh bijaklah yang menjaga putrinya dari proses pacaran. Surga dan keridhaan-Nya, itu adalah janji Allah bagi mereka.
Semua yang diatas telah saya argumenkan tanpa menyinggung, tanpa pula menceramahi, insyaAllah spirit fiqh dakwah tertaburkan di warung fotokopi pada hari itu, alhamdulillah. Alhasil lagi, sang ibu pemilik fotokopi pun akhirnya sepakat dengan ide islami yang saya lontarkan... walaupun para mahasiswi yang tadinya seakan sepakat dengan ide gila buk pat akhirnya ngekor dengan kobaran semangat nahi munkar saya, diiringi dengan bingung campur sari dengan tak setuju dikkkiiit. Haaa, mungkin saja mereka sedang pacaran kaleee...
Lalu, tentu kita perlu pendalaman lebih lanjut di sini, anggaplah sebagai diskusi lanjut menyempurnakan perbincangan siang hari itu.
Pacaran, seperti apakah definisinya? Semuanya terjawab syubhat dan membuta, sehingga definisi Islam sajalah yang paling berharga, satu-satunya, pacaran adalah dengan menikah! Ada ijab kabul di hadapan para saksi, ada juga mahar, dan sebentuk prosesi syar’i yang menyertainya. Sungguh, inilah yang terbaik, bukan gelora definisi setan. Pacaran definisi lain bukanlah syari’at, dan itu telah kita ketahui hukumnya : HARAM. Jika istilah Ilmu Kimia Lingkungan, pacaran itu ibarat polusi, penyebabnya adalah Polutan Merah Jambu. Istilah Biologi, Virus Merah Jambu.
Pacaran, tidak lebih dari cerita buruk yang menghantui proses pematangan pemuda (baca : remaja) menuju kedewasaannya secara islami. Tidak ada pacaran yang tanpa berdua-duaan antara lawan jenis yang bukan mahram, dan ini hal kotor dari pandangan Islam. Tidak ada pacaran yang tanpa diiringi rasa ‘ingin selalu bersamamu selamanya – ingin selalu mengingatmu selamanya – cintaku padamu adalah segala-galanya’, dan ini adalah kemusyrikan di dalam pandangan addin kita, wajib diperangi. Cukup, ini cerita buruk yang menghiasi blantika irama perpacaran.
Boleh saja banyak yang membela, dengan segudang argumen membosankan telinga kita. Pacaran syar’i ada, tidak sebagaimana cerita buruk yang terpapar di atas, terlalu jijik memandang ‘keindahan’ berpacaran model itu. Terlalu kolot dan picik memandang pacaran dan hakikatnyakalau seperti itu. Seharusnya, pacaran harus ditilik dari sisi yang positif. Pacaran mampu menimbulkan semangat dan kepercayaan diri yang tinggi. Pacaran dapat memotivasi hidup, dan sebagainya. Nah, ini adalah argumen-argumen yang tak membersamai Al-Qur’an dalam berfikir, dalam menggunakan otak. Seharusnya lebih layaklah pikiran-pikiran ini dijerumuskan ke dalam jahannam. Pemikiran sesat tentang persepsi bahwa pacaran memiliki segudang sisi baik. Na’udzubillah. Hannam, apa mungkin? Bagi setiap yang punya hati tak memahami, bagi setiap yang punya mata tak melihat, dan bagi setiap yang punya telinga tak mau dengar, balasannya adalah jahannam, dan predikatnya tida klebih baik dari BINATANG.
Ada pacaran syar’i tanpa menikah? Sebenarnya itulah pertanyaan kebodohan bukan pernyataan kepandaian. Boleh saja ada pacaran syar’i, tapi itu tadi, definisinya harus sesuai syari’at : MENIKAH bukan tidak, bukan juga pra atau semacam awalan. Sebelum menuju jenjang keabadian kebersamaan.
Sahabat, adakah kita memiliki saudari (adik atau kakak perempuan)? Adakah? Jika ada, maka berhati-hatilah, petakan jurus jitu preventisasi, kemungkinan mereka punya pacar maka cari penawar yang lebih jitu. Tapi jangan lupa mengawasi diri kita sendiri, selain para saudari perempuan, jangan-jangan kita juga tercemar polutan itu.
2 komentar:
BOLEH DONG, NUMPANG DAKWAH JG DISINI ;-)
...dakwah adalah ajakan, namun tidak sebagaimana ajakan terbatas pada bahasa sempit, ia adalah ajakan kebaikan yang membunga wangi, membumikan kebenaran di atas diri yang tak berhidayah menjadi berhidayah... saudaraku, saksikanlah bahwa kebenran itu telah kudapati, dan ikutilah... atau engkau akan menyesal kelak...
Posting Komentar