Penulis menerjemahkan atsar tersebut ke dalam Bahasa Minang, “Just Like it, No Reason for it…”, tidak ada alasan yang jelas mengapa harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Minang, yang penting penulis menyukainya. Inilah bunyi atsar tersebut menurut cara penerjemahan penulis sendiri, kurang lebih seperti ini : “Ko dapek, acok-acok lah kalian manangih. Ko indak, manangih se lah ecek-ecek”, atau dalam Bahasa Indonesia sebagaimana tertulis di dalam majalah SABILI, “Kalau mampu, sering-seringlah kalian menangis. Jika tidak menangis, berpura-puralah menangis.” (Abu Bakar Ash Shidiq, ra).
Di sini, tak perlu penulis mengurai tuntas tentang teknik penerjemahan yang shahih atau benar, dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia, dan seterusnya ke dalam Bahasa Minang. Namun ada yang lebih substansial dari itu yaitu penyampaian maksud dari si penulis. Kehendak yang ingin penulis sampaikan persis sama dengan ajakan untuk sering-sering menangis, serius atau berpura-pura kepada Allah. Sama seperti yang dikehendaki oleh Abu Bakar Ash Shidiq, atau minimal hampir sama dengan yang dikehendaki penulis artikel dalam majalah tersebut. Yang menjadi masalah atau pertanyaan adalah bagaimana untuk bisa menangis? Jika belum bisa menangis dengan jujur, apakah menangis berpura-pura adalah dosa? Munafiqkah?
Menangis, sebuah pekerjaan tubuh yang manusia menyepakatinya sebagai aktivitas produksi air mata, sedikit atau banyak. Ia adalah perbuatan yang melibatkan hati, disebabkan oleh kepekaan jiwa. Kepekaan perasaan atau jiwa, kita sebut saja indera ke enam. Indera inilah yang akan menerima aksi dan bereaksi secara subjektif dan objektif terhadap kelima indera yang lain, terutama pendengaran dan penglihatan. Menangis adalah gejolak yang muncul dari dalam diri setelah diberikan ransangan afektif terhadapnya. Istilah lain adalah sentuhan perasaan. Perasaan yang tersentuh dengan nuansa sedih, takut, khawatir, atau duka yang mendalam akan menggerakkan diri untuk meneteskan air mata. Walaupun tidak tertutup kemungkinan ada saja yang mengatakan bahwa tangis jenis lain bukan berasal dari yang disebutkan tadi, melainkan tangis bahagia. Ah, terserah, yang jelas tangis di sini mengarah pada tangis karena faktor afeksi negatif semisal takut adzab, dan atau yang setara dengan itu.
Menghadirkan tangis di setiap waktu atau yang kita sebut menangis acok-acok, tidaklah mudah. Kecuali bagi mereka yang sudah sampai ke tingkat muraqabatullah (kedekatan pada Allah) yang tinggi. Bagi kita yang sangat sulit untuk menangis, ada beberapa tips yang bisa kita praktikkan, antara lain : Menginstropeksi diri dengan menanyakan beberapa pertanyaan semisal sudah siapkah kita menghadap Allah? Berapa banyakkah maksiat yang kita lakukan? Benarkah ibadah kita jauh dari riya’? Berapa ratus hingga ribu titikkah kesombongan dalam diri kita? Jawaban itu hanya kita yang tahu. Nurani akan sangat jujur menjawabnya, di sinilah bulir-bulir air mata penyesalan mulai jatuh menetes. Tekad untuk bertaubat memperbaiki diri segera dikokohkan, agar penyesalan tidak berlanjut ilaa yaumil akhir.
Selain itu, membayangkan siksa kubur, hari penghisaban, penitian jembatan shirath, dan saat-saat pedih dan mengerikan di dalam neraka, juga merupakan cara untuk menghadirkan kepekaan jiwa. Di sana kita akan menjalani setiap proses sendiri, tidak ada sanak saudara yang memperhatikan, ayah ibu yang tulus, atau pertolongan dari harta, pangkat, anak dan istri yang tercinta... Tidakkah jiwa kita takut dengan ancaman Allah pada hari-hari itu? Itulah tips menangis sederhana, bukan?
Lalu mengapa kita perlu menangis? Dr. Abdullah nashih Ulwan dalam buku TARBIYAH RUHIYAH, penerbit Robbani Press mengatakan bahwa ada beberapa keutamaan menangis karena takut kepada Allah : Pertama, orang yang menangis karena takut kepada Allah akan berada di bawah naungan Allah di hari kiamat ; Kedua, orang yang menangis karena takut kepada Allah akan terbebas dari adzab Allah ; Ketiga, orang yang menangis karena takut kepada Allah akan berada dalam limpahan cinta kasih ilahi ; Keempat, orang yang menangis karena takut kepada Allah akan berada dalam ampunan dan maghfirah-Nya. Selain empat keutamaan di hari kiamat, penulis menambahkan bahwa dengan menangis, meneteskan air mata dapat meningkatkan kesehatan jiwa dan emosi, menambah lezatnya iman, dan kedekatan kepada Allah akan semakin mantap mengisi detik-detik yang kita miliki.
Hal yang lain adalah jika belum bisa jujur menangis, apakah menangis berpura-pura adalah dosa? Munafiqkah? Adalah sahabat yang mulia, Abu Bakar Ash Shidiq, siapa yang meragukan kejujurannya. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pun menghadiahkan gelar spesial buat sahabat yang nomor wahid ini dengan gelar Ash shidiq. Tentu, atsar di atas juga perlu kita perhatikan sisi positifnya. Menangis ecek-ecek, tentu secara sekilas kita kaitkan dengan kepura-puraan, alias ketidakjujuran. Namun bukan proses ketidakjujuran menangis yang diseriuskan dalam amal itu. Proses ikhtiar untuk mampu meneteskan air mata ketakutanlah yang dikehendaki. Inilah yang kurang lebih dimaksudkan oleh beliau. Kunci utama untuk ecek-ecek tadi adalah hanya terhadap Allah semata, bukan pada manusia. Sekali lagi, bukan berpura-pura pada manusia agar dianggap sebagai ahli tangis. Naudzubillah min dzalika. Langkah itupun langkah yang terakhir sekali dilakukan apabila tangis kejujuran karena takut pada Allah masih belum juga berhasil.
Acok-acok, ecek-ecek, keduanya sama, yang penting dapat menangis. Baik acok-acok maupun ecek-ecek, keduanya adalah bagian dari tahapan untuk takut kepada Allah, untuk selalu mengingat-Nya karena ketakutan akan adzab-Nya. Yang salah adalah acak-acak, bila tertawa beriring tangis, atau tangis beriring tawa, inilah yang lucu. Acak-acak, tangis dengan riya, akan mengacak-acak pahala ibadah. Sahabat pembaca, menangislah acok-acok atau ecek-ecek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar