Terlepas dari kontroversi beberapa pendapat ulama tentang boleh tidaknya merayakan tahun baru islam., penulis mengajak pembaca untuk memasuki areal pikiran kecil seorang jhd, pemilik tulisan ini. Muharram, adalah sebuah kesepakatan bahwa ia adalah bulan penanda awal tahun baru, tahun baru ISLAM. Beberapa dari umat islam merayakannya dengan segala macam kreativitasnya, ada juga yang sebaliknya, pasif, bahkan tak sedikit yangmenolaknya. Kita tidak perlu berdebat sangat jauh tentang ini. Ilmu kita sangat terlalu kecil tentang urusan yang satu ini. Ulama dunia sekelas Asysyaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawiy saja, sangat berlapang dada dalam menilai hal ini. Tidak terlalu ribut seperti kebanyakan umat islam yang mempeributkannnya saat ini. Ribut masalah TAHUN BARU ISLAM, antara halal atau haram! Tidak terlalu mendesak untuk dibicarakan di sini.
Astaghfirullah, afwan jiddan sahabat... mohon maaf bila ada yang tersinggung. Oh, lupakanlah paragraf pertama. Marilah sejenak mengarahkan pandangan di atas layar yang tergores sederhana ini…
Sahabat…
Ada kisah yang sangat indah dari Muharram. Ada pengorbanan yang suci serta ukhuwah yang gemilang di sana. Tidak kalah dengan prestasi pengorbanan sang Bapak yang hanif, Nabi Ibrahim AS dalam bulan Dzulhijjah, bulan yang baru saja berlalu.
1429 tahun yang lalu, tersebutlah kisah sejati yang diabadikan dalam Al Qur’an surah 59 ayat 8 dan 9. Ayat 8 mengurai indah kisah muhajirin. Keluar dari Makkah, berpindah dari kota itu menuju Madinah. Mencari keutamaan dan keridhaan dari Allah SWT, mereka ikhlas karena Allah. Betapa hebatnya sang muhajirin... Begitulah kalimat yang tepat untuk menghargai perjuangan dan pengorbanan mereka. Menolong agama Allah dan Rasul-Nya. Sungguh, ‘pantaslah’ jika Allah memberikan gelar kehormatan bagi mereka, dengan gelar ASSHAADIQUN... (Akhir ayat 8 surah 59). Mereka adalah orang-orang yang benar, berada dalam kebenaran, dan memperjuangkan kebenaran. Gelar ini menjadikan mereka sangat layak masuk jannatullah. Gelar honoris causa yang tidak berasal dari lembaga penelitian, bukan juga dari universitas terkenal… Ini gelar honoris causa langsung dari sang pemilik jagad raya, ALLAH SWT.
Ucapan tulus kita untuk mereka seandainya kita bisa bertemu... Sahabat muhajirin, kami ingin meneladani anda semua…
Ya Allah, izinkanlah kami menjadi penerus perjuangan mereka. Orang-orang yang senantiasa berjuang, berkorban, dan mempersembahkan yang terbaik dalam menolong agama-Mu… Amin. Itulah do’a kita wahai sahabat, meski sederhana… kuberharap itu akan menjadi bisikan merdu ucap-mohon kita pada Rabb saat ini...
Masih dalam surah yang sama, surah 59 juz 28 (Al Hasyr). Ayat 9 bercerita agung tentang kesejatian amal para sahabat anshar. Mereka yang terlebih dahulu menempati kota Madinah, telah bersumpah melalui ikrar syahadatain (dua kalimat syahadat), telah mengimani Allah dengan segala konsekuensi keberimanan kepada-Nya. Amal mereka luar biasa hebat, patut diacungi jempol… Sahabat anshar mencintai dengan ikhlas sang muhajirin, karena Allah. Muhajirin datang ke Madinah dengan membawa harta benda yang hampir nihil, kecuali perbekalan seadanya saja. Sang anshar melayani dengan ketulusan, mempersembahkan servis yang terbaik... Dikatakan dalam ayat 9 ini, “... wayu’tsiruw...,” “...dan mereka mengutamakan...”. Sang anshar mengutamakan saudaranya muhajirin, melebihi dari segala kepentingan pribadinya. Tidak sedikit dari sang anshar menawarkan hartanya kepada muhajirin. Wah, luar biasa. Teramat kurang rasanya untaian2 kalimat pujian penulis terhadap mereka. Ada yang paling luar biasa, Allah SWT memuji sang anshar dengan pemberian gelar ALMUFLIHUN (Orang-orang yang beruntung). Hal ini disebabkan mereka terpelihara dari kekikiran mereka. Sang anshar menunjukkan bukti persaudaraan islam (ukhuwah islamiyah) kepada sang muhajirin. Bukti nyata, tak sekedar OMDO alias ‘omong doang’.
Muhajirin dan anshar, keduanya mulia di mata Allah. Mereka dijanjikan balasan yang berlipat ganda oleh Allah. Satu hal yang paling penting bagi kita adalah hikmah dan ibrah dari kisah heroik mereka. Agar Muharram kita kali ini tidak berlalu begitu saja tanpa pemaknaan yang hakiki. Itulah sebenarnya, Muharram, kita berbahagia dengan momen ini. Jangan biarkan berlalu, nihil tak berbekas dalam jiwa kita. Terakhir, kisah sejati Muharram ini hanyalah momentum saja. Hendaknya kita aplikasikan dalam setiap bulan yang kita lewati sepanjang hidup. Mulai saat ini juga...
Demikian! Wallahu a’lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar