Suatu hari di sebuah ruangan ber-AC, seorang wanita
berumur kepala lima bertanya: “Apakah kamu pikir mengendarai motor dari Tebing
Tinggi ke Jambi itu aman?” Suasana mendadak hening setelah sebelumnya lebih
ramai. Hening bukan karena hanya kami berdua di dalam ruangan itu, akan tetapi
karena saya harus berpikir keras menjawab pertanyaan dadakan itu. Itu juga sebuah
kalimat yang menyadarkan saya tentang nekatnya diri selama bertahun-tahun
mengendarai motor seorang diri dari rimba akasia menuju kota Jambi. Perjalanan jauh
sekitar seratus dua puluh kilometer, melewati medan yang tidak biasa, jalan
berdebu di antara sunyinya hutan, jalanan kadang lunak basah berlumpur, dan
sebagainya, ditempuh dengan kecepatan “tergesa-gesa”. Kemudian melewati jalan
lintas timur Sumatra yang terkenal sering merenggut nyawa manusia. Na’udzubillah
min dzalik.
Tentang siapakah wanita yang bertanya kepada
saya di siang hari itu? Ah, rasanya itu tidak perlu di sini. Kalaupun saya
ceritakan, niscaya ia akan sangat marah besar ketika mengetahui saya
menceritakan tentang dia di sini. Lupakan, itu tidak penting. Sekarang saatnya
merenung tentang jawaban atas sebuah pertanyaan sederhana dan sepertinya
sangat-sangat sederhana. “Apakah kamu pikir mengendarai motor dari Tebing
Tinggi ke Jambi itu aman?”
Bagaimana jika saya jawab: “saya pikir itu
aman-aman saja, sudah bertahun-tahun saya memang demikian, jarang menggunakan
bus untuk bepergian ke kota Jambi, bahkan sejak kuliah (2011) saya setiap pekan
mengendarai motor ke kota Jambi”. Dan itulah jawaban saya di siang itu, kepada
seorang wanita yang bertanya dan meminta saya untuk berpikir. Hufffh,
sepertinya saya harus memikirkan jawaban yang lebih tepat dari jawaban tadi. Mungkin
itu yang ia kehendaki karena setelah saya memberi jawaban, ia hanya
geleng-geleng kepala.
Tebing Tinggi, 9 Januari 2013 (Tulisan ini saya
tulis karena sedang mengingat wanita itu, seorang wanita karir yang hari ini
berulang tahun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar