Almarhum Ust. Muhammad Farhan |
Suatu hari di tahun 2011, saya bersama ketua
BAZIS perusahaan (Bp. H. Muhammad Rayhan Suratman) berkunjung ke sebuah pesantren
dekat pabrik PT. Lontar Papyrus, Tebing Tinggi Tanjung Jabung Barat Jambi.
Pesantren yang bernama Fathul ‘Ulum itu adalah pesantren sederhana, boleh
dikatakan masih dalam tahap permulaan meskipun sudah bertahun-tahun didirikan, para
pengajarnya pun masih tergolong pengajar sukarela demi mengembangkan dakwah di
daerah ini. PT. Lontar Papyrus Pulp (Unit usaha Sinar Mas Group di bidang bubur
kertas di Provinsi Jambi) melalui BAZIS dan Bidang HUMAS-nya (Public Affairs
Team) juga sangat memperhatikan pesantren ini, dengar kabar bahwa setiap bulan memang
ada dana untuk bantuan operasional pesantren tersebut. Kunjungan kami pada hari
itu juga mengantarkan bantuan dan sambil berdiskusi dengan para pengajar
pesantren. Beberapa hari sebelumnya, saya bersama akh Novrianto mengisi
pelatihan tentang Spiritual Management System di hadapan siswa Madrasah Aliyah
dan Madrasah Tsanawiyah milik pesantren sederhana itu.
Setelah agenda menyalurkan bantuan selesai dan
berniat hendak pulang, pandangan saya tertuju ke arah lapangan pesantren. Meski
saya tanpa memakai kaca mata minus 1,5, masih dapat melihat dengan agak jelas
bahwa salah seorang pengajar muda sedang membimbing satu kelas siswa Madrasah
Aliyah dalam mata ajar “peraturan baris-berbaris” di lapangan. Dengan berpakaian
pramuka, mereka sangat serius dan tekun menerima arahan dari sang pengajar muda
itu. Saya penasaran, siapakah pengajar muda itu? Menurut saya, ia tidak berbeda
jauh umurnya dengan para siswa yang diajarnya. Lalu saya bertanya pada pimpinan
pesantrennya (Ust. Ibnu Hajar), saat itu masih menemani kami. “Oh, itu, Ust. Muhammad
Farhan, beliau mengajar Bahasa Arab dan sebagai pembimbing Pramuka di pesantren
kita, selain itu juga mengajar beladiri” Ustadz Ibnu Hajar menjawab pertanyaan
saya. Rupanya Pak Haji Suratman melanjutkan
jawaban Ustadz Ibnu Hajar “iya Pak Jul, itu Farhan, dahulunya juga
sebagai ‘Anak BAZIS’ perusahaan kita,
barusan lulus dari pesantren di Jawa atas prakarsa tokoh masyarakat setempat
dan juga dukungan dari BAZIS perusahaan”.
Alhamdulillah, saya
bertemu orangnya! Bertemu?
Iya, saya sudah lama mencari pemuda yang
seperti itu. Seseorang yang berpotensi menjadi kader dakwah di masa depan,
apalagi Farhan adalah warga yang lahir di daerah ini, bukan perantau seperti
saya. Tentu akan memberi manfaat yang lebih luas bagi dakwah ke depannya. Inilah
momentum yang amat sangat tepat bagi saya dan rekan-rekan lain untuk merekrut
Ustadz Farhan menjadi bagian penggiat kegiatan dakwah kepemudaan di Tebing
Tinggi, begitulah saya bergumam dalam hati. Saya langsung saja meminta nomor
ponsel beliau dari Ust. Ibnu Hajar tanpa berupaya mendekati beliau di lapangan,
maklum saja beliau sedang mengajar di lapangan. Mudah-mudahan di lain
kesempatan bisa bertatap muka, bersilaturrahim secara langsung.
Pertemuan ini perlu ditindak lanjuti. Inilah
komitmen saya dalam hati saat itu. Saya memberitahukan hal ini kepada salah
seorang sahabat dakwah, Ust. Taufiq Hidayat, Ketua HUMAS FPRJ Tebing Tinggi. Apa
yang menjadi niat saya tentu saja seiring dengan niatnya. Kami mencari waktu
untuk bisa bertemu langsung Ust. Farhan. Sore hari sepulang bekerja dari pabrik
(masih berseragam perusahaan, lengkap dengan helm khas pabrik), sekitar pukul 17.15
WIB berdua dengan akh Taufiq menuju rumah Ust. Farhan setelah sebelumnya
berkenalan singkat via SMS dan membuat janji untuk bertemu. Alhamdulillah,
sesuai dengan petunjuk Ust. Farhan, kami sangat mudah mencari alamatnya da sampai
di sebuah rumah kecil berdinding papan, sangat-sangat sederhana. “Assalamu’alaikum”,
seorang kakek menjawab salam kami: “Wa’alaikumussalam”. “Benar ini rumah Ust. Farhan
Pak?”, “Iya benar, Farhannya lagi mandi”. Kemudian keluarlah seorang nenek dan
mempersilakan kami masuk ke dalam rumah itu. Kami memperkenalkan diri kepada
kakek dan nenek Ust. Farhan dan mengutarakan perihal maksud kedatangan kami.
Sang Kakek sangat senang karena Farhan punya banyak yang mengenalnya. Kemudian sang
kakek bercerita tentang Farhan kecil dan kebiasaannya. Farhan baru saja pulang
dari Jawa tahun ini, lulus dari pesantren (kira-kira umurnya seusia tamatan SMA-red).
Perbincangan menjadi cair hingga sang nenek menimpali “Farhan ini kalau mandi
sering lama nak, sabar menunggu saja ya nak” sambil tertawa.
Dari tuturan kakek dan neneknya, Farhan adalah
anak yatim, Ayahnya meninggal saat ia masih kecil. Sementara Ibunda Farhan
sudah sejak lama mengalami buta, kedua matanya tidak mampu melihat, saya
menduga itu penyakit katarak yang sudah parah (ah, biarlah dokter yang punya
kerjaan mendiagnosisnya). Sore itu kami memang tidak melihat Ibunda Ust. Farhan
karena sedang istirahat di dalam kamar. Di dinding rumah kayu itu saya melihat
ada kalender dan beberapa foto-foto, sepertinya ini adalah milik Farhan semua.
Kalender itu bertuliskan “PESANTREN SULAMUL HUDA PONOROGO JAWA TIMUR”. Saya
bisa menerka kalau itu adalah almamater Ust. Farhan. Ternyata setelah bertemu
dan menanyakan langsung, Ust. Farhan mengiyakan. Tidak lama setelah itu
(sebenarnya sih, lumayan lama), Ust. Farhan keluar dengan tampilan ‘cool’,
namanya saja barusan mandi. Beliau menyapa kami dan kemudian terjadilah perkenalan
secara lebih dalam, saya, akh Taufiq, dan Ust. Farhan.
Bersambung…
(jika ada informasi yang tidak benar tepat atau kurang tepat terkait almarhum, mohon memberitahukan penulis segera, kontak via komentar atau email langsung ke julhasratman@yahoo.co.uk)
(jika ada informasi yang tidak benar tepat atau kurang tepat terkait almarhum, mohon memberitahukan penulis segera, kontak via komentar atau email langsung ke julhasratman@yahoo.co.uk)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar