Dipersembahkan untuk para sahabat yang sedang 'berjuang' mengisi KRS (Kartu Rencana Studi) untuk semester baru. Bagaimana IP semester yang lalu akhiy...?!
Wahai orang-orang yang beriman…, wahai segenap pemuda pejuang dakwah kampus…, kembali kuserukan kepada seluruhnya. Marilah duduk sejenak berbenah iman di sini. Hindarkan jika ada segala gundah yang menyelimuti aneka persoalan hidup kita masing-masing. Mari menyadari hakikat keberadaan kita di sini. Sahabat, telah banyak sudah ucapan pujian Allah atas perjuangan rintisan di medan ini, untuk kita. Kita memang ditakdirkanNya untuk berjuang di ladang ini. Ladang yang tak kunjung datang waktu panen. Karena waktu panen adalah pertanda berakhirnya suatu upaya rinstisan. Ladang dakwah kampus bukanlah bak menyemai benih dan menunggu waktu panen. Dakwah kampus sejatinya adalah ujian bagi kita. Bukanlah perjuangan petani di ladang hidupnya. Begitulah…
"Apakah kalian mengira akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad dan belum nyata orang-orang yang sabar…(3 : 142)". Saudaraku, sepotong kalimat indah itu kiranya masih terhujam di jiwa kita. Itulah kalimat yang terpilin kuat di serat-serat kalbu kita sejak dahulu hingga sampai sekarang dan sampai kapan pun, insya Allah. Terdoktrin di dalam ruang-ruang pemikiran kita. Kita sadar bahwa ujian keimanan memiliki parameter berupa perjuangan. Orang yang berjuang dengan perjuangan sabar, itulah yang sukses. Itulah yang sukses melewati ujian keimanan itu. Mungkin, kita lah yang dimaksudkan akan diuji. Kita telah mengaku beriman dan sebagi konseuensinya, kita pun harus ridha untuk diujiNya.
Saudaraku, pernah suatu hari daku berbincang santai dan serius tentang prestasi akademik kepada salah seorang sahabat. Bercerita juga tentang indeks prestasinya yang jauh dari kenyamanan. “Sepertinya ana tamat minimal 5 tahun akhiy…”. Dengan nada yang sedikit mengundang tanya… sang sahabat berujar demikian kepadaku. Memang, sang sahabat ini adalah aktifis yang selama ini telah berkiprah banyak di ladang juang dan ujian keimanan medan dakwah kampus. Telah banyak waktu yang dikorbankan sehingga terpaksa, iya atau tidak, jadwal-jadwal yang seharusnya dialokasikan untuk belajar menjadi berkurang akibat agenda dakwahnya yang begitu padat.
Ada banyak cerita lain yang setempo dengan kisah di atas. Mungkin tak terhitung dengan satu jari saja betapa banyak aktifis dakwah yang ‘rela’ tamat 7 tahun untuk menyelesaikan sarjana hanya karena alasan sederhana, ‘masih dibutuhkan oleh dakwah kampus’. Inilah fenomena yang tak jarang kita temui dalam keseharian kita bersama dakwah kampus. Kisah yang tidak kalah sama alurnya, ketika salah seorang ikhwan mengeluh karena memperoleh nilai E dari mata kuliah tertentu hanya gara-gara terlambat menyerahkan tugas pada dosennya. Alasan yang seirama, rupanya sang ikhwan siang kemarin turun aksi ke jalan raya berteriak tentang ‘pembebasan palestina’. Terlambat, gagal! Betapa menggigit isi dada kita.
Ada banyak versi respon tentang ragam kisah di atas. Ada banyak versi argumen menyelingi problema itu. Kekalahan dalam memenangkan perjuangan akademik adalah bagian dari perjuangan harakiy kita… Seorang al akh tidak dibenarkan memiliki indeks prestasi yang kecil dengan alasan kesibukan dakwah. Jangan menyalahkan dakwah, salahkanlah diri sendiri yang tidak pandai mengatur waktu. Benar! Inilah kalimat versi pertama. Inilah versi yang terapresiasi dengan baik selama ini. Versi pemikiran ini adalah yang paling unggul dan dimuliakan. Dokrin yang disepakati oleh banyak aktifis dakwah. Tapi terkadang, mengiris jantung…
Akan tetapi…, ada suara lain yang terdengar. Bergetar dari sisi kalbu yang menjawabnya beda. Sedikit atau tidak, kesibukan dakwah kampus pasti berpengaruh pada prestasi akademik. Terserah, entah pandai mengelola waktu dengan baik atau tidak. Bahkan versi yang lebih radikal lagi mengatakan, ilmu atau skill mengelola waktu TIDAK ADA. Teori belaka. Orang itu sukses bukan karena kelihaian dalam manajemen waktu. Ada faktor yang lain yang lebih utama dan logis. Bukan manajemen waktu. Salah atau tidak, walaupun tidak totalitas memandang kasus, inilah kalimat dari versi radikal tersebut. Versi yang agak sejalan dengan ini mendukung grafik linear yang melukiskan hubungan antara persentase jasa perjuangan terhadap lamanya waktu studi. Hebat! Inilah versi yang sedikit kontroversial namun mengungkap rahasia hati kita. Inilah versi yang mengajak kita ke arah struktur berpikir yang agak logis. Benarkah???????? Mungkin ada yang kurang sepakat. Tapi ingat, versi respon dan argumen yang satu ini bukanlah pembenaran untuk tidak menghargai waktu dan versi yang pertama.
Sahabatku, itulah sepenggal bait dalam drama kehidupan ironis. Drama ironis yang berbalut heroik ini sering terputar dan kita saksikan di layar lebar dakwah kampus. Bukanlah suatu kehinaan bila kita telah dan akan termasuk menjadi aktor di dalam drama itu. Terlepas dari apa saja versi respon dan argumen yang kita pegang. Karena yakinlah di balik tertundanya fajar terbit, sungguh telah ada berjuta cahaya bersinar di malam yang mendahuluinya. Semua ada hikmahnya. Ada hikmah yang berderet ketika kita mampu berkorban dengan ikhlas untuk Allah. Fajar yang tertunda boleh jadi berbuah cahaya yang abadi. Menjadi pelita – penerang yang cemerlang di dalam jama’ah ini kelak…
Tidak ada penyesalan bagi kita…Sungguh, penyesalan hanyalah menjadi ciri khas orang-orang yang berputus asa. Saudaraku, sekali lagi tiada penyesalan bagi kita. Karena penyesalan hanyalah untuk orang-orang yang selalu menutup dirinya dari keimanan. Berbuat dan berbuatlah demi satu tujuan SAJA, untuk Allah semata.
Dipersembahkan untuk para sahabat yang sedang 'berjuang' mengisi KRS (Kartu Rencana Studi) untuk semester baru. Bagaimana IP semester yang lalu akhiy...?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar