SELAMAT DATANG DI SITUS BLOG HADZIHI SABILI - JEHADEMUSA

Jumat, 13 Juli 2007

REVITALISASI MASJID KAMPUS, silakan…


Bismillahirrahmanirrahim

(Goresan pribadi memandang perlunya pembaharuan kembali ruh dakwah ‘via’ masjid kampus)

Salah satu agenda strategis ‘para pemikir’ dakwah kampus nusantara saat ini adalah revitalisasi masjid kampus. Revitalisasi masjid kampus! Yap, sepertinya sangat menarik untuk dicermati lebih dalam. Jika penulis tidak terlalu salah, istilah ‘revitalisasi’ itu dapat kita bedah menjadi 3 (tiga) unsur pembentuk istilah; pertama ‘re-’, kedua ‘–vital-’, dan ketiga ‘-isasi’. Terlepas dari hukum-hukum tentang dunia ke-Bahasa Indonesia-an, penulis mencoba secara pribadi mengurai makna revitalisasi sesederhana mungkin. Penulis menjelaskan tentang revitalisasi berdasarkan pola pembedahan di atas. Re berarti kembali. Vital berarti penting, dan –isasi berarti sebuah proses. Lagi-lagi, sesederhana mungkin penulis akan meyakinkan kita semua bahwa revitalisasi berarti sebuah proses mengembalikan sesuatu hal tertentu sebagai bagian yang diposisikan penting. Salah satu upaya revitalisasi masjid kampus bermaksud agar adanya suatu tekad tiap komponen kampus termasuk ADK (Aktifis Dakwah Kampus) untuk memposisikan kembali masjid sebagai tulang punggung proses islamisasi (dakwah) untuk setiap komponen kampus, masjid memiliki peranan penting, dan agar tidak boleh diabaika oleh setiap ADK. Demikian kira-kira…

Fenomena Saat ini?Mungkin ada yang terlupa…

Pernah suatu hari, bahkan bukan hanya satu atau dua kali saja kejadiannya. Penulis mengikuti tatsqif (tarbiyah tsaqafiyah) yang diadakan di masjid kampus oleh salah satu unit kegiatan mahasiswa kerohanian di kampus X. Ironis, peserta yang diharapkan hadir seharusnya (minimal) ratusan orang ternyata hanya berjumlah sepuluh sampai tiga puluh orang yang hadir, itupun banyak terlambat, datang di ujung acara tatsqif. Termasuk para ‘petinggi’ dakwah kampus pun yang nota bene dapat disebut sebagai pihak yang telah memahami lebih dalam tentang urgensi tatsqif. Konon juga, katanya jumlah ADK di kampus itu telah berbilang dalam jumlah ribuan. Namun fakta bagaimana? Jika hal ini dianggap dramatisasi penulis, silakan. Tapi bukti nyata tentu saja ada.

Contoh di atas hanya sekelumit peristiwa bagaimana ADK saat ini telah melupakan aktifitas memakmurkan masjid. Selain juga melupakan pentingnya tatsqif. Memang, alasan-alasan ketidakhadiran terlalu banyak. Segudang alasan syar’i boleh-boleh saja untuk berhalangan hadir, apalagi hanya untuk terlambat. Akan tetapi ketika pengabaian seperti itu menjadi rutinitas yang dimaafkan ‘melulu’, nah inilah yang ‘diharamkan’. Jika berlanjut, tunggulah akibatnya…

Fakta yang tidak boleh dipungkiri kadang atau sering, akibat dari ADK sudah sedemikian terlalu jauhnya ia ‘terbang’ ke negeri pengembaraan di luar masjid. ADK yang selama ini dibalut kalimat jihad berangkat meninggalkan masjid menuju medan jihad di luar masjid. Terpaksalah sang ADK tersebut untuk sementara waktu meninggalkan masjid (walau hanya sesaat).

Menyibukkan diri dengan aktifitas yang berciri non-masjidi boleh-boleh saja. Artinya aktifitas dakwah yang tidak bersinggungan langsung dengan masjid diizinkan bahkan sangat dianjurkan. Karena siapa lagi yang akan kita harapkan selain ADK untuk berjuang di ‘luar’. Akan tetapi proposionalitas kesibukan dipentingkan di sini. Perlu diingat, kita lahir melalui masjid dan berjaya di dalam kampus dengan masjid itu juga. Itulah seharusnya yang menjadi prinsip utama kita sejak dari dulu. Mengapa? Karena objek-objek dakwah kita masih banyak yang menghargai masjid sebagai Centre of Islamic Movement. Mereka (para mad’u kita) terkadang tidak begitu peduli dengan politik kampus, pelatihan-pelatihan di ruang seminar, festival-festival seni islam di luar masjid atau yang lain sebagainya…

Bukan berlebihan jika hampir delapan puluh persen atau lebih aktifis dakwah kampus melupakan sejarah. Terbukti dengan contoh ‘pengabaian masjid’ yang dilakukan di kampus X tadi. “Perlu kiranya kita membaca sejarah lebih dalam”, begitulah kalimat Hasdi Putra, ketua PUSKOMNAS dalam tulisannya dalam situs blog pribadi di hasdiputra.blogspot.com (10 Juli 2007). Kalimat itu seharusnya kita gigit kuat-kuat (tentu saja jangan sampi membuat gigi kita copot, ‘kan repot?).

Pada zaman sabiqunal awwalun dakwah kampus, masjid dapat dikatakan sebagai pola awal pendekatan birokrat dan pendekatan ‘ammah hingga terbentuknya lapisan inti yang handal dan pergerakan massif saat itu. Sejarah telah berkata demikian. Bahkan hingga saat ini dakwah kampus semakin jaya dan dekat di hati sivitas akademika kampus melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat ‘masjidis’ itu sendiri. Dalam sejarah perkembangan Lembaga Dakwah Kampus yang lebih akrab disingkat LDK, selalu menempatkan masjid kampus sebagai peletak peradaban kampus yang dilaluinya. Sejarah yang terlupa. Itulah kata yang tepat. Kita telah melupakan jasa masjid kampus yang telah turut berperan meletakkan bata-bata fondasi perjuangan dakwah kita. Itulah kenyataannya! Sepatutnya kita beristighfar… Masjidku, ternyata engkaulah pionir sejarah dakwah kampusku…

Bagaimana kita memandang ‘tahapan’?

Terdengar oleh penulis celotehan kecil dari seorang aktifis jama’ah dakwah kampus. Ada seuntai kalimat berirama ‘dewasa’ dengan komentar pribadinya. “Akhi, dakwah kita telah memiliki tahapan yang lebih maju beberapa langkah. Sesepuh kita dulu tidak tahu ini dan itu, mereka belum memiliki LDK, jumlah ADK sedikit, wajihah yang multipurpose dan multidaya, ini dan itu… Benar, zaman doeloe tidak sama dengan sekarang. Kita telah melalui tahapan-tahapan dimana dahulu masjid kampus sebagai satu-satunya sarana untuk bergerak. Akan tetapi perlu diingat bahwa tahapan bukan berarti menaiki tangga. Tahapan itu diibaratkan sebagai penyusunan bata-bata menuju kesempurnaan bangunan tangga dakwah. Tahapan berguna untuk mengetahui sejauh mana perkembangan dakwah yang sedang kita rintis. Hal ini dimaksudkan untuk mengambil kebijakan strategis sesuai dengan ciri khas tahapan itu sendiri.

Pembaharuan Ruh Dakwah, centre of excellence…

Terlalu lelah rasanya kita berbicara tentang pentingnya masjid kampus. Istilah ‘babaliak ka masajiek’ oleh ‘urang awak’ lebih tepat jika kita sandarkan pada agenda strategis dakwah kampus kita ke depan. Jika kita ingin dan bertekad melakukan pembaharuan kembali terhadap ruh jama’ah dakwah kampus, maka salah satunya adalah dengan menggalakkan kembali istilah ‘babaliak ka…”. Kita perlu kembali kepada militansi yang perkasa. Berbalik dari militansi yang semakin pupus dan luntur, berbalik dari ruhul istijabah dan ruhul idhhiyah yang kian hari semakin dianggap hanya teori belaka.

Revitalisasi masjid kampus, silakan… Namun ada agenda yang lebih tepat berdasarkan pola pengamatan penulis tentang masjid kampus selama ini. Tepatnya, kita harus memposisikan kembali masjid kampus sebagai centre of excellence, dari dahulu, sekarang dan sampai kapanpun jasad dakwah berdiri tegak di kampus. Karena penulis yakin ADK sebenarnya sudah sangat memahami bahwa masjid itu memang penting, sudah saatnya kita mengarah pada ‘pengembalian vitalitas’ masjid kampus. Penulis berpikir bahwa selama ini pun ADK sudah memandang masjid sebagai hal yang vital bagi dakwah. Penulis percaya sangat, bahwa seluruh komponen/pemeran dakwah kampus telah memahami pentingnya masjid dan selalu berkeinginan memposisikannya sebagai bagian dari yang terpenting. Lalu??? Agenda strategis (menurut penulis) lebih dari sekedar revitalisasi masjid kampus. Beberapa hal yang perlu kita ingatkan kembali pada segenap aktifis jama’ah ini yakni :

Pertama, perlunya pemusatan basis dakwah kampus ‘kembali’ (resenterisasi masjid kampus) melalui optimalisasi kegiatan yang bersifat masjidis. Jangan biarkan masjid ‘kosong’ akibat sibuknya kita di luar. Maukah jika ‘bangunan mulia’ itu direbut oleh pasukan lain? Masjid hasus dijadikan sebagai pusat manajemen dakwah kampus. Planning, monitoring dan evaluasi perlu dititipkan di ‘dalam’ masjid agar semua aktifitas kita lebih ‘dekat’ dengan ruh-ruh masjid. Selain itu, kesan yang kuat akan terhujam di setiap diri ADK ketika ia lebih dekat dengan masjid. Salah satu contoh sederhana di lapangan adalah pemberdayaan fungsi masjid sebagai sarana ‘planning’ dakwah kampus. Lebih aman… dan tidak menimbulkan sangka buruk dari ‘yang lain’. Apalagi untuk ikhwan yang memiliki interaksi dengan akhwat (karena amanah dakwah tentunya)… masjid memiliki hijab yang ketat untuk masalah itu.

Kedua, tetap mempertahankan wajihah yang selalu berada dan bergerak di dalam masjid. Wajihah ini akan memainkan peran sebagai wasilah ta’mir masjid. Sekalipun wajihah-wajihah kita saat ini telah ‘merantau’ keluar masjid, akibat luas dan tingginya ‘kepangkatan’ marhalah dakwah kampus kita. Sebagai wasilah dakwah pemakmuran masjid, perlu adanya program yang terencana dan bermutu untuk memakmurkan masjid itu sendiri. Wajihah yang berfungsi memakmurkan masjid harus membangun koordinasi dengan dosen/karyawan yang juga (sering) memakmurkan masjid…

Ketiga, program-program yang ditawarkan oleh ‘dakwah kampus’ dalam memakmurkan masjid harus merupakan program yang berorientasi ganda. Maksudnya, program yang selain bertujuan untuk kaderisasi (baca : objek ADK) juga bertujuan untuk dakwah ammah (syiar). Sebagai contoh, program kajian tafsir al qur’an yang diadakan secara rutin. Selain memiliki nilai kaderisasi (menambah kafa’ah ADK) juga memiliki nilai syiar, mana tahu ada orang ‘ammah yang tertarik…

Keempat, selalu memandang bahwa masjid kampus adalah bagian yang sangat penting yang tidak terpisahkan dari kejayaan dakwah kampus kita. Inilah yang kita sebut sebagai revitalisasi masjid kampus. Persepsi yang sama memandang pentingnya masjid kampus oleh ADK, itulah yang diharapkan di sini. Jadi, revitalisasi dakwah kampus lebih mengarah pada pengubahan paradigma berpikir ADK terhadap masjid kampus itu sendiri.

Kelima, membangun hubungan yang harmonis dengan jama’ah/harakah yang lain. Kita dianjurkan untuk bekerjasama memakmurkan masjid dalam hal-hal yang kita sepakati dan saling berlapang dada dalam hal-hal yang belum kita sepakati. Keharmonisan ini lebih utama dipelihara oleh jama’ah dakwah kampus untuk menunjukkan siapa yang terbaik di antara ‘yang sekian banyak itu’. Tugas mulia apabila kita mampu menjadi pemimpin para ‘jama’ah’ di antara sekian banyak yang ‘beraktifitas’ di dalam masjid kampus.

Semua agenda di atas sepatutnya dilaksanakan dengan mengedepankan unsur mutu dan keunggulan. Jama’ah dakwah kita insyaAllah tidak diragukan untuk memenangkan agenda di atas di atas panji-panji dakwah manhaji dan syar’i yang kita usung. Akan tetapi perlu disadari semuanya harus diikuti dengan perjuangan yang suci, niat yang ikhlas, ikhtiar dan do’a yang maksimal, tentu…dengan tawakkal yang mengiringinya. Penulis yakin bahwa kita mampu mewujudkan masjid kampus yang lebih ‘indah’ lagi ke depan. Dan dakwah kampus pun berbasis masjid centre of excellence.

Wallahu a’lam bishshawab.

Serpong, Juli 2007…………………

Tidak ada komentar:

8 Tulisan Populer Pekan Ini